Seach What Do you Want

Monday 18 October 2010

Menemukan Sejarah

Nama                          : Marsudi
Nim                             : 08110124
Kelas/Jur                    : D/PAI                      
Dosen Pembimbing   : Istianah Abu Bakar M. Ag



1.      Apakah sebenarnya faktor pemicu terjadinya perang diponegoro?
2.      Jelaskan tentang teori-teori kedatangan Islam ke Nusantara?
3.      Sebelum  berbicara tentang Tuanku Imam Bonjol dengan perang paderi, anda harus tau apakah sebenarnya kelompok paderi itu?
4.      Pada Tahun 1950-1959 tercatat sebagai Masa Demokrasi Liberal, apakah yang dimaksud dengan demokrasi liberal itu?
5.      Berbicara masalah kemerdekaan, Indonesia tidak pernah lepas dari perang kemerdekaan, apakah sebenarnya perang kemerdekaan itu?

Uraian
1. Perang Jawa atau lebih dikenal dengan
Perang Diponegoro (1825-1830) ternyata
dipicu oleh hal yang sederhana, yaitu
penancapan tonggak-tonggak pembuatan
jalan rel kereta api. Pada masa itu, Belanda
tengah giat-giatnya membangun rel kereta api yang melewati
daerah Tegalrejo di Jawa Tengah. Rupanya di salah satu
sektor, Belanda tepat melintasi makam dari leluhur Pangeran
Diponegoro. Hal inilah yang membuat Pangeran Diponegoro
marah luar biasa, dan memutuskan untuk mengangkat senjata
melawan Belanda. Namun  penyebab perang tersebut
sebenarnya merupakan akumulasi semua permasalahan yang
ada, seperti pajak yang tinggi, campur tangan Belanda dalam
urusan istana Yogya, hingga permasalahan ketidakpuasan di
kalangan istana itu sendiri.
Sebelas November 1785, keluarga kraton Ngayogyakarta Hadiningrat berbahagia. Hamengku Buwono III (HB-III), hari itu, mempunyai anak pertama yang dinamai Antawirya. Konon Hamengkubuwono I (HB-I) sangat tertarik pada cicitnya itu. Ia, katanya, akan melebihi kebesarannya. Ia akan memusnahkan Belanda.

Antawirya dibesarkan di Tegalrejo dalam asuhan Ratu Ageng, istri HB-I. Di sana ia belajar mengaji Quran dan nilai-nilai Islam. Tegalrejo juga memungkinkannya untuk lebih dekat dengan rakyat. Spiritualitasnya makin terasah dengan kesukaannya berkhalwat atau menyepi di bukit-bukit dan gua sekitarnya. Hal demikian membuat Antawirya semakin tak menikmati bila berada di kraton yang mewah, dan bahkan sering mengadakan acara-acara model Barat. Termasuk dengan pesta mabuknya. Kabarnya, Antawirya hanya "sowan" ayahnya dua kali dalam setahun. Yakni saat Idul Fitri dan 'Gerebeg Maulid".

Antawirya kemudian bergelar Pangeran Diponegoro. Ia tumbuh sebagai seorang yang sangat disegani. Ayahnya hendak memilihnya sebagai putra mahkota. Ia menolak. Ia tak dapat menikmati tinggal di istana. Ia malah menyarankan ayahnya agar memilih Djarot, adiknya, sebagai putra mahkota. Ia hanya akan mendampingi Djarot kelak.

Pada 1814, Hamengku Buwono III meninggal. Pangeran Djarot, yang baru berusia 13 tahun, diangkat menjadi Hamengku Buwono IV. Praktis kendali kekuasaan dikuasai Patih Danurejo IV -seorang pro Belanda dan bahkan bergaya hidup Belanda. Perlahan kehidupan kraton makin menjauhi suasana yang diharapkan Diponegoro. Apalagi setelah adiknya, Hamengku Buwono IV meninggal pada 1822. Atas inisiatif Danurejo pula, Pangeran Menol yang baru berusia 3 tahun dinobatkan menjadi raja. Makin berkuasalah Danurejo.

Saran-saran Diponegoro tak digubris. Danurejo dan Residen Yogya A.H. Smissaert malah berencana membuat jalan raya melewati tanah Diponegoro di Tegalrejo. Tanpa pemberitahuan, mereka mematok-matok tanah tersebut. Para pengikut Diponegoro mencabutinya. Diponegoro minta Belanda untuk mengubah rencananya tersebut. Juga untuk memecat Patih Danurejo. Namun, pada 20 Juli 1825, pasukan Belanda dan Danurejo IV mengepung Tegalrejo. Diponegoro telah mengungsikan warga setempat ke bukit-bukit Selarong. Di sana, ia juga mengorganisasikan pasukan.

Pertempuran pun pecah. Upaya damai dicoba dirintis. Belanda dan Danurejo mengutus Pangeran Mangkubumi -keluarga kraton yang masih dihormati Diponegoro. Namun, setelah berdialog, Mangkubumi justru memutuskan bergabung dengan Diponegoro. Gubernur Jenderal van der Capellen memperkuat pasukannya di Yogya. Namun 200 orang tentara itu, termasuk komandannya Kapten Kumsius, tewas di Logorok, Utara Yogya, atas terjangan pasukan Diponegoro di bawah komando Mulyosentiko.[1]

Dalam pertikaian ini, dua kraton Surakarta -Paku Buwono dan Mangkunegoro- berpihak pada Belanda. Pasukan pimpinan Tumenggung Surorejo dapat menghancurkan pasukan bantuan Mangkunegoro. Di Magelang, pasukan Haji Usman, Haji Abdul Kadir mengalahkan tentara Belanda dan Tumenggung Danuningrat. Danuningrat tewas di pertempuran itu. Di Menoreh, Diponegoro sendiri memimpin pertempuran yang menewaskan banyak tentara Belanda dan Bupati Ario Sumodilogo.

Markas Prambanan diduduki. Meriam-meriam Belanda berhasil dirampas. Di daerah Bojonegoro-Pati-Rembang, pihak Belanda ditaklukkan pasukan rakyat Sukowati pimpinan Kartodirjo. Pertahanan Belanda di Madiun dihancurkan pasukan Pangerang Serang dan Pangeran Syukur. Belanda kemudian mendatangkan pasukan Jenderal van Geen yang terkenal kejam di Sulawesi Selatan. Dalam pertempuran di Dekso, Sentot Alibasyah menewaskan hampir semua pasukan itu. Van Geen, Kolonel Cochius serta Pangeran Murdoningrat dan Pangeran Panular lolos.

Murdoningrat dan Panular kembali menyerang Diponegoro. Kali ini bersama Letnan Habert. Di Lengkong, mereka bentrok. Habert tewas di tangan Diponegoro sendiri. Pasukan Surakarta yang sepakat melawan Diponegoro dihancurkan di Delanggu. Benteng Gowok yang dipimpin Kolonel Le Baron, jatuh dalam serbuan 15-16 Oktober 1826. Diponegoro tertembak di kaki dan dada dalam pertempuran itu. Pasukan Sentot Alibasyah yang tinggal selangkah merebut kraton Surakarta dimintanya mundur. Tujuan perang, kata Diponegoro, adalah melawan Belanda dan bukan bertempur sesama warga.

Belanda mengerahkan seluruh kekuatannya. Pemberontakan Paderi di Sumatera Barat, untuk sementara dibiarkan. Sekitar 200 benteng telah dibangun untuk mengurangi mobilitas pasukan Diponegoro. Perlahan langkah tersebut membawa hasil. Dua orang panglima penting Diponegoro tertangkap. Kyai Mojo tertangkap di Klaten pada 5 Nopember 1828. Sentot Alibasyah, dalam posisi terkepung, menyerah di Yogya Selatan pada 24 Oktober 1829.

Diponegoro lalu menyetujui tawaran damai Belanda. Tanggal 28 Maret 1830, Diponegoro disertai lima orang lainnya (Raden Mas Jonet, Diponegoro Anom, Raden Basah Martonegoro, Raden Mas Roub dan Kyai Badaruddin) datang ke kantor Residen Kedu di Magelang untuk berunding dengan Jenderal De Kock. Mereka disambut dengan upacara militer Belanda. Dalam perundingan itu, Diponegoro menuntut agar mendapat "kebebasan untuk mendirikan negara sendiri yang merdeka bersendikan agama Islam."

De Kock melaksanakan tipu muslihatnya. Sesaat setelah perundingan itu, Diponegoro dan pengikutnya dibawa ke Semarang dan terus ke Betawi. Pada 3 Mei 1830, ia diasingkan ke Manado, dan kemudian dipindahkan lagi ke Ujungpandang (tahun 1834) sampai meninggal. Di tahanannya, di Benteng Ujungpandang, Diponegoro menulis "Babad Diponegoro" sebanyak 4 jilid dengan tebal 1357 halaman.

Pergolakan rakyat pimpinan Diponegoro telah menewaskan 80 ribu pasukan di pihak Belanda -baik warga Jawa maupun Belanda dan telah menguras keuangan kolonial. Hal demikian mendorong Belanda untuk memaksakan program tanam paksa yang melahirkan banyak pemberontakan baru dari kalangan ulama. Di Jawa, para pengikut Diponegoro seperti Pangeran Ario Renggo terus melancarkan perlawanan meskipun secara terbatas.n
2. setidaknya ada tiga masalah pokok yang bersangkutan dengan teori kedatangan islam ke Nusantara, tempat kedatangan islam, para pembawanya, waktu kedatangannya. Berbagi teori dan dan pembahasan yang berusaha menjawab ketiga pokok masalah ini jelas belum tuntas, tidak hanya karena kurangnya data yang mendukung suatu teori tertentu, tetapi juga karena sifat sepihak dari berbagai teori yang ada.
Sejumlah sarjana kebanyakan asal belanda, memegang bahwa asal mula islam Nusantara adalah anak benua India, bukan Persia atau Arabia. Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini adalah pijjnapel, ahli dari Universitas Laiden. Dia mengaitkan asal mula islam di nusantara dengan wilayah Gujarat dan Malabar. Menurut dia, adalah orang-orang arab bermadzhab safi’i yang bermigrasi dan menetap di wilayah india tersebut yang kemudian membawa Islam ke Nusantara.
Teori ini kemudian dikembangkan oleh snouk hargrounje yang berhujah, begitu Islam bepijak kokoh dibeberapa kota pelabuhan anak benua hindia, muslim Deccan banyak diantara mereka tinggal di sana sebagai pedagang perantara dalam perdaganganTimur Tengah dan Nusantara-datang ke dunia Melayu –Indonesia sebagai penyebar Islam pertama. Baru kemudian merekadisusul oleh orang-orang-arab banyak keturunan dari Nabi Muhammad SAW. Karena menggunakan gelar syariff atau sayyid, yang menyelesaikan penyebaran Islam di Nusantara, baik sebagai pendeta, maupun sebagai pendeta-penguasa.[2]
Masih banyak teori tentang kedatangan Islam ke Nusantara, hanya saja yang saya tulis ini agak menarik dan lucu.
3. terdapat beberapa pendapat tentang pengistilahan paderi. Ada yang mengatakan istilah itu berasal dari portugis, “padre” yang berarti bapak, gelar yang biasa diberikan kepada pendeta. Sementara ada yang mengatakan istilah paderi berasal dari kata “pedir”, Bandar dipesisir utara Aceh, tempat calon jemaah haji Indonesia yang akan berangkat ke tanah suci.
Analisis Van Ronkel, seperti di kutub karel Seteen brink, mengenai gerakan paderi di sumatera barat mengatakan bahwa istilah paderi ini berasal dari kata pedir, suatu daerah di Aceh, dari pedir inilah Islam menyebar ke Minangkabau. Mereka yang menyiarkan agama Islam itu disebut ‘Padre’. Tetapi dugaan itu agak lemah, karena pendapat yang berkembang pada umumnya adalah mengatakan bahwa paderi berasal dari kata portugis padre, yang berarti postur katolik. Kata paderi sering dipakai Hindia-Inggris dan Hindia Belanda (maksudnya adalah Malaysia dan Indonesia), tidak hanya digunakan oleh orang asing, tetapi juga penduduk pribumi.
Dari beberapa pendapat tersebut diatas, dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwa pengumpulan yang terjadi di sumatera barat yang dipelopori oleh tokoh agama dan kelompok masyarakat yang melakukan gerakan pemurnian ajarna agama Islam, adalah sebuah pembentukan struktur masyarakat baru, yang mengatas namakan diri mereka kelompok kelompok putih atau kelompok masyarakat Paderi. Kelompok itu memisahkan diri dari kelompok masyarakat adat. Upaya ini terbukti dengan terbentuknya sebuah perkampungan baru yang berbasis di daerah Bonjol.
Wartheim dalam analisisnya mencoba mengkomparasikan dengan gerakan yang terjadi dimasyarakat Kristen Eropa. Ia misalnya mengatakan gerakan reformasi ini dapat dibedakan dengan protestan borjuis yang memprotes system feudal (kaum bangsawan yang bebas dari keharusan bekerja, tidak menggunakan modal untuk investasi, tetapi untuk judi, penyabungan ayam, dan lain-lain), dan cara hidup yang tidak dinamis. Gerakan paderi yang khususnya disokong oleh pedagang menekankan bahwa modal tidak boleh dihabiskan untuk hal-hal yang konsumtif, tetapi digunakan untuk investasi usaha-usaha baru.
Dari berbagai literature yang ada, ditemukan berbagai pendapat mengenai latar belakang munculnya gerakan paderi. Pendapat-pendapatitu akhirnya disimpulkan menjadi tiga factor. Pertama factor agama, kedua factor social, ketiga factor ekonomi.
Masyarakat Minangkabau telah memeluk ajaran Islam sejak Abad 16 atau bahkan sebelumnya. Namun hingga awal abad 19, masyarakat tetap melaksanakan adat yang berbau maksiat seperti judi, sabung ayam maupun mabuk-mabukan. Hal demikian menimbulkan polemik antara Tuanku Koto Tuo -seorang ulama yang sangat disegani, dengan para muridnya yang lebih radikal. Terutama Tuanku nan Reneh.

Mereka sepakat untuk memberantas maksiat. Hanya, caranya yang berbeda. Tuanku Koto Tuo menginginkan jalan lunak. Sedangkan Tuanku nan Reneh cenderung lebih tegas. Tuanku nan Reneh kemudian mendapat dukungan dari tiga orang yang baru pulang dari haji (1803) yang membawa paham puritan Wahabi. Mereka Haji Miskin dari Pandai Sikat, Haji Sumanik dari Delapan Kota, dan Haji Piobang dari Lima Puluh Kota.

Kalangan ini kemudian membentuk forum delapan pemuka masyarakat. Mereka adalah Tuanku nan Reneh, Tuanku Bansa, Tuanku Galung, Tuanku Lubuk Aur, Tuanku Padang Lawas, Tuanku Padang Luar, Tuanku Kubu Ambelan dan Tuanku Kubu Sanang. Mereka disebut "Harimau nan Salapan" (Delapan Harimau). Tuanku Koto Tuo menolak saat ditunjuk menjadi ketua. Maka anaknya, Tuanku Mensiangan, yang memimpin kelompok tersebut. Sejak itu, ceramah-ceramah agama di masjid berisikan seruan untuk menjauhi maksiat tersebut.

Ketegangan meningkat setelah beberapa tokoh adat sengaja menantang gerakan tersebut dengan menggelar pesta sabung ayam di Kampung Batabuh. Konflik terjadi. Beberapa tokoh adat berpihak pada ulama Paderi. Masing-masing pihak kemudian mengorganisasikan diri. Kaum Paderi menggunakan pakaian putih-putih, sedngkan kaum adat hitam-hitam.

Tuanku Pasaman yang juga dikenal sebagai Tuanku Lintau di pihak Paderi berinisiatif untuk berunding dengan Kaum Adat. Perundingan dilngsungkan di Kota Tengah, antara lain dihadiri Raja Minangkabau Tuanku Raja Muning Alamsyah dari Pagaruyung. Perundingan damai tersebut malah berubah menjadi pertempuran. Raja Muning Alamsyah melarikan diri ke Kuantan, Lubuk Jambi. Pada 1818, Raja Muning mengutus Tuanku Tangsir Alam dan Sutan Kerajaan Alam untuk menemui Jenderal Inggris Raffles di Padang. Gubernur Jenderal Inggris Lord Minto yang berkedudukan di Kalkuta menolak untuk campur tangan soal ini. Melalui "Tractat London", Inggris bahkan menyerahkan kawasan Barat Sumatera pada Belanda.

Pada 10 Februari 1821, Tuanku Suruaso memimpin 14 penghulu dari pihak Adat mengikat perjanjian dengan Residen Du Puy. Du Puy lalu mengerahkan 100 tentara dan dua meriam untuk menggempur kota Simawang. Perang pun pecah. Sejak peristiwa itu, permusuhan kaum Paderi bukan lagi terhadap kalangan Adat, melainkan pada Belanda. Mereka pun memperkuat Benteng Bonjol yang telah dibangun Datuk Bandaro. Muhammad Syabab -kemudian dikenal dengan panggilan Tuanku Imam Bonjol-ditunjuk untuk memimpin benteng itu.

Dengan susah payah Belanda menguasai Air Sulit, Simabur dan Gunung. Dari Batavia, Belanda mengirim bantuan 494 pasukan dan 5 pucuk meriam. Pagaruyung dan Batusangkar dapat direbut. Mereka membangun benteng Fort van der Capellen, dan menawarkan damai. Tuanku Lintau menolak. Pertempuran sengit terjadi lagi. Tanggal 17 Maret 1822, pasukan Letkol Raaff yang hendak menyerang melalui Kota Tengah dan Tanjung Berulak berhasil dijebak Tuanku nan Gelek.

Juli 1822, sekitar 13 ribu pasukan Paderi merebut pos Belanda di Tanjung Alam. Pada 15 Agustus juga merebut Penampung, Kota Baru dan Lubuk Agam. Maka, pada 12 April 1823, Belanda mengerahkan kekuatan terbesarnya di bawah komando Raaff. Sebanyak 26 opsir, 562 serdadu, dan 12 ribu orang pasdukan adat menggempur Lintau. Namun mereka dapat dihancurkan di Bukit Bonio. Pasukan van Geen yang hendak menyelamatkan meriam di Bukit Gadang juga kocar-kacir. Tiga perwira dan 45 serdadu Belanda tewas. Van Geen luka parah tertusuk tombak.

Pada 16 Desember 1823, Raaff kemudian diangkat menjadi Residen menggantikan Du Puy. Ia berhasil membuat perjanjian damai di Bonjol. Namun, diam-diam ia juga mengkonsolidasikan pasukan. Dan bahkan menggempur Guguk Sigadang dan Koto Lawas. Pemimpin Paderi, Tuanku Mensiangan terpaksa hoijrah ke Luhak Agam. Paderi semakin kuat karena kini pasukan adat mulai berpihak ke mereka.

Raaff meninggal lantaran sakit. Penggantinya, de Stuers memilih jalan damai. Langkah ini ditempuhnya karena Belanda mengkonsentrasikan kekuatan untuk menghadapi pemberontakan Diponegoro. Stuers menugasi seorang Arab, Said Salim al-Jafrid, untuk menjadi penghubung. Tanggal 15 Nopember 1825, perjanjian damai pun diteken antara de Stuers dan Tuanku Keramat. Suasana Sumatera Barat kemudian relatif tenang.

Namun pengkhianatan terjadi lagi. Kolonel Elout menggempur Agam dan Lintau. Ia juga menugasi kaki tangannya, anak Tuanku Limbur, untuk membunuh Tuanku Lintau dengan bayaran. Pembunuhan terjadi pada 22 Juli 1832. Usai Perang Diponegoro itu, tentara Belanda dikerahkan kembali ke Sumatera Barat. Kota demi kota dikuasai. Benteng Bonjol pun bahkan berhasil direbut. Namun sikap kasar tentara Belanda pada tokoh-tokoh masyarakat yang telah menyerah, membuat rakyat marah. Ini membangkitkan perlawanan yang lebih sengit.

Pada 11 Janurai 1833, Paderi bangkit. Secara serentak mereka menyerbu dan menguasai pos-pos Belanda di berbagai kota. Benteng Bonjol berhasil mereka rebut kembali. Seluruh pasukan Letnan Thomson, 30 orang, mereka tewaskan. Belanda kembali menggunakan siasat damai lewat kesepakatan "Plaakat Panjang", 25 Oktober 1833. Namun Jenderal van den Bosch kembali menyerbu Bonjol. Ia gagal, 60 orang tentaranya tewas. Kegagalan serupa terjadi pada pasukan Jenderal Cochius.

Namun serangan dadakan berikutnya menggoyahkan kubu Paderi. Masjid dan rumah Imam Bonjol terbakar. Paha Imam Bonjol tertembak. Ia juga terkena 13 tusukan, meskipun ia sendiri berhasil menewaskan sejumlah serdadu. Dalam keadaan terluka parah, Imam Bonjol terus memimpin Paderi dari tempat perlindunganya di Merapak, lalu ladang Rimbo, dan kemudian Bukit Gadang.

Benteng Bonjol kembali jatuh, 16 Agustus 1837. Belanda kemudian menawarkan perundingan damai. Saat itulah Tuanku Imam Bonjol dapat dijebak dan kemudian ditangkap pada 28 Oktober 1837. Imam Bonjol kemudian diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat, lalu dipindah ke Ambon pada 19 Januari 1839. Pada 1841, ia dipindahkan ke Manado dan wafat di sana pada 6 Nopember 1864.

Tuanku Tambusai melanjutkan perlawanan dan berbasis di Mandailing -Tapanuli Selatan. Tuanku Tambusai inilah yang menjadikan Mandailing sebagai daerah berbasis muslim.
Pendapat umum mengatakan bahwa munculnya gerakan paderi di minangkabau pada awal abad 19, adalah karena pengaruh Wahabi yang dibawa oleh tiga orang haji dari mekkah pada 1803. Kemunculan paderi di sumatera barat pada abad 19  dipandang Schrieke sebagai suatu reaksi islam yang begitu ketat terhadap unsure-unsur bukan Islam dialam kehidupan masyarakat. Lebih jauh dari Schrieke mengatakan bahwa munculnya gerakan paderi di sumatera barat karena tidak adanya tempat tidak adanya tempat yang memuaskan bagi agama-agama dalam kehidupan social seperti kaum adat, sehingga menimbulkan revolusi dari kaum agama.
4. demokrasi Liberal sendiri merupakna system politik dengan banyaknya partai, kekuasaan politik berada ditangan politisi sipil dan berpusat di parlemen.
5. perang kemerdekaan adalah salah satu bagian penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Perang kemerdekaan adalah komitmen mempertahankan kemerdekaan, tidak hanya itu saja, tetapi memperlihatkan hal baru dalam sejarah peperangan bangsa Indonesia. Hal itu karena bangkitnya solidaritas di antara berbagai kelompok, suku, agama, dan golongan dalam menghadapi kekuatan penjajah. Dengan demikian, politik Devide Et Impera yang dimainkan belanda untuk menaklukkan kembali bekas wilayah jajahannya menjadi tidak efektif. Hasil akhir perang ini meneguhkan identitas bangsa Indonesia sebagai bengsa dan Negara yang merdeka dan berdaulat.

Daftar Pustaka :

ü  Badri Yatim, 1999. Gerakan Paderi Di Sumatera Barat, PT. Logos Wacana Ilmu: Ciputat.
Mu’in Umar dkk, 1985. Penulisan Sejarah Islam Indonesia, Penerbit Dua Dimensi: Yogyakarta.
ü  Mohammad Iskandaar, 2007. SEJARAH Indonesia dalam Perkembangan Zaman, PT. Ganeca Exact: Jakarta.
ü  DR. Azumardi Azra, 1994. Jaringan Ulama (Timur Tengah dan kepulauan Nusantara), Mizan IKAPI: Bandung.
ü   Saiful Muzani, 1993.  Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara. PT. Pustaka LP3ES Indonesia.
ü  Zainul Milal Bazawie, 2002. Perlawanan kultural agama rakyat, PT. SAMHA: Jakarta.




Wikipedia Sejarah Nusantara
DR. Azumardi Azra, 1994. Jaringan Ulama. Hlm. 24.

No comments:

Post a Comment