Seach What Do you Want

Monday 18 October 2010

Pengertian Filsafat Ilmu

                                                 

Untuk memahami arti dan makna filsafat ilmu, di bawah ini dikemukakan pengertianfilsafat ilmu dari beberapa ahli yang terangkum dalam Filsafat Ilmu, yang disusun oleh Ismaun (2001)

* Robert Ackerman “philosophy of science in one aspect as a critique of current scientific opinions by comparison to proven past views, but such aphilosophy of science is clearly not a discipline autonomous of actual scientific paractice”. (Filsafat ilmu dalam suatu segi adalah suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap kriteria-kriteria yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu jelas bukan suatu kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah secara aktual.

* Lewis White Beck “Philosophy of science questions and evaluates the methods of scientific thinking and tries to determine the value and significance of scientific enterprise as a whole. (Filsafat ilmu membahas dan mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan)

* A. Cornelius Benjamin “That philosopic disipline which is the systematic study of the nature of science, especially of its methods, its concepts and presuppositions, and its place in the general scheme of intellectual discipines. (Cabang pengetahuan filsafati yang merupakan telaah sistematis mengenai ilmu, khususnya metode-metodenya, konsep-konsepnya dan praanggapan-praanggapan, serta letaknya dalam kerangka umum cabang-cabang pengetahuan intelektual.)
Fenomenologi Dasein dan Pemahaman Eksistensial

Berbicara tentang Dasein berarti kita harus berbicara tentang Martin Heidegger. Untuk merefleksikan berbagai problem metafisika, ia menggunakan fenomenologi, seperti yang telah dirumuskan oleh Edmund Husserl. Heidegger melakukan studi fenomenologi atas keseharian manusia di dunia. Studinya tersebut ada pada buku Being and Time (1927), yang merupakan karya Magnus Opusnya. Dalam bukunya tersebut, ia melakukan refleksi atas (manusia) Dasein, yang disebutknya sebagai hermeneutika atas Dasein.

Dalam konteks ini, hermeneutika tidaklah diartikan sebagai ilmu ataupun aturan tentang penafsiran teks, atau sebagai metodologi ilmu-ilmu kemanusiaan, tetapi sebagai eksplisitasi eksistensi manusia itu sendiri. Heidegger berpendapat bahwa “penafsiran” dan “pemahaman” merupakan modus mengada manusia. Dengan demikian, hermeneutika Dasein dari Heidegger, terutama selama berupaya merumuskan ontologi dari pengertian, jugalah merupakan hermeneutika. Ia merumuskan metode khusus hermeneutika untuk menafsirkan Dasein secara fenomenologis.

Hans-Georg Gadamer mengembangkan implikasi lebih jauh dari hermeneutika Haidegger di dalam sebuah karya sistematik, yang berjudul “Philosophical Hermeneutics”(Truth and Method). Di dalam buku itu, ia merunut perkembangan hermeneutika secara detil mulai dari Schleiermacher, Dilthey, sampai pada Heidegger. Akan tetapi, Truth and Method lebih dari sekedar sejarah hermeneutika, melainkan juga sebuah upaya untuk mengkaitkan hermeneutika dengan estetika, dan juga sebuah refleksi filsafat “pemahaman sejarah” (historical understanding). Ia juga menjabarkan kritik Heidegger terhadap hermeneutika, dan kemudian merumuskan konsep “kesadaran yang bergerak dalam sejarah”, seperti yang pernah juga dirumuskan oleh Hegel, bahwa penafsiran bergerak secara dialektis bersama sejarah, dan kemudian ditampilkan di dalam teks.

Gadamer dan Heidegger mengangkat hermeneutika sampai pada level “linguistik”, di mana Ada sesungguhnya hanya dapat dimengerti melalui bahasa. Hermeneutika adalah pertemuan sang penafsir dengan Ada melalui bahasa. Dengan demikian, mereka memberikan arti lain bagi kata hermeneutika, yakni sebagai problem filosofis tentang relasi antara bahasa dengan Ada, pemahaman manusia, sejarah, eksistensi, dan realitas. Hermeneutika pun ditempatkan sebagai salah satu refleksi filsafat yang cukup sentral dewasa ini, yang tidak dapat dilepaskan begitu saja dari pertanyaan-pertanyaan yang bersifat ontologis maupun epistemologis, karena proses manusia memahami itu sendiri adalah persoalan ontologis dan epistemologis.
Filsafat Zaman Yunani Kuno

1.1 Filsafat pra-sokrates ditandai oleh usaha mencari asal (asas) segala sesuatu ("arche" = ). Tidakkah di balik keanekaragaman realitas di alam semesta itu hanya ada satu azas? Thales mengusulkan: air, Anaximandros: yang tak terbatas, Empedokles: api-udara-tanah-air. Herakleitos mengajar bahwa segala sesuatu mengalir ("panta rei" = selalu berubah), sedang Parmenides mengatakan bahwa kenyataan justru sama sekali tak berubah. Namun tetap menjadi pertanyaan: bagaimana yang satu itu muncul dalam bentuk yang banyak, dan bagaimana yang banyak itu sebenarnya hanya satu? Pythagoras (580-500 sM) dikenal oleh sekolah yang didirikannya untuk merenungkan hal itu. Democritus (460-370 sM) dikenal oleh konsepnya tentang atom sebagai basis untuk menerangkannya juga. Zeno (lahir 490 sM) berhasil mengembangkan metode reductio ad absurdum untuk meraih kesimpulan yang benar.

1.2 Puncak zaman Yunani dicapai pada pemikiran filsafati Sokrates (470-399 sM), Plato (428-348 sM) dan Aristoteles (384-322 sM).

1.2.1 Sokrates menyumbangkan teknik kebidanan (maieutika tekhne) dalam berfilsafat. Bertolak dari pengalaman konkrit, melalui dialog seseorang diajak Sokrates (sebagai sang bidan) untuk "melahirkan" pengetahuan akan kebenaran yang dikandung dalam batin orang itu. Dengan demikian Sokrates meletakkan dasar bagi pendekatan deduktif. -- Pemikiran Sokrates dibukukan oleh Plato, muridnya.

Hidup pada masa yang sama dengan mereka yang menamakan diri sebagai "sophis" ("yang bijaksana dan berapengetahuan"), Sokrates lebih berminat pada masalah manusia dan tempatnya dalam masyarakat, dan bukan pada kekuatan-kekuatan yang ada dibalik alam raya ini (para dewa-dewi mitologi Yunani). Seperti diungkapkan oleh Cicero kemudian, Sokrates "menurunkan filsafat dari langit, mengantarkannya ke kota-kota, memperkenalkannya ke rumah-rumah". Karena itu dia didakwa "memperkenalkan dewa-dewi baru, dan merusak kaum muda" dan dibawa ke pengadilan kota Athena.

Dengan mayoritas tipis, juri 500 orang menyatakan ia bersalah. Ia sesungguhnya dapat menyelamatkan nyawanya dengan meninggalkan kota Athena, namun setia pada hati nuraninya ia memilih meminum racun cemara di hadapan banyak orang untuk mengakhiri hidupnya.

1.2.2 Plato menyumbangkan ajaran tentang "idea". Menurut Plato, hanya idea-lah realitas sejati. Semua fenomena alam hanya bayang-bayang dari bentuknya (idea) yang kekal. Dalam wawasan Plato, pada awal mula ada idea-kuda, nun disana di dunia idea. Dunia idea mengatasi realitas yang tampak, bersifat matematis, dan keberadaannya terlepas dari dunia inderawi. Dari idea-kuda itu muncul semua kuda yang kasat-mata. Karena itu keberadaan bunga, pohon, burung, ... bisa berubah dan berakhir, tetapi idea bunga, pohon, burung, ... kekal adanya. Itulah sebabnya yang Satu dapat menjadi yang Banyak.
Tujuan, fungsi dan manfaat filsafat

Menurut Harold H. Titus, filsafat adalah suatu usaha memahami alam semesta, maknanya dan nilainya. Apabila tujuan ilmu adalah kontrol, dan tujuan seni adalah kreativitas, kesempurnaan, bentuk keindahan komunikasi dan ekspresi, maka tujuan filsafat adalah pengertian dan kebijaksanaan (understanding and wisdom).

Dr Oemar A. Hoesin mengatakan: Ilmu memberi kepada kita pengatahuan, dan filsafat memberikan hikmah. Filsafat memberikan kepuasan kepada keinginan manusia akan pengetahuan yang tersusun dengan tertib, akan kebenaran. S. Takdir Alisyahbana menulis dalam bukunya: filsafat itu dapat memberikan ketenangan pikiran dan kemantapan hati, sekalipun menghadapi maut. Dalam tujuannya yang tunggal (yaitu kebenaran) itulah letaknya kebesaran, kemuliaan, malahan kebangsawanan filsafat di antara kerja manusia yang lain. Kebenaran dalam arti yang sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya baginya, itulah tujuan yang tertinggi dan satu-satunya.

Bagi manusia, berfilsafat itu bererti mengatur hidupnya seinsaf-insafnya, senetral-netralnya dengan perasaan tanggung jawab, yakni tanggung jawab terhadap dasar hidup yang sedalam-dalamnya, baik Tuhan, alam, atau pun kebenaran. Radhakrishnan dalam bukunya, History of Philosophy, menyebutkan: Tugasfilsafat bukanlah sekadar mencerminkan semangat masa ketika kita hidup, melainkan membimbingnya maju. Fungsi filsafat adalah kreatif, menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah dan menuntun pada jalan baru. Filsafat hendaknya mengilhamkan keyakinan kepada kita untuk menompang dunia baru, mencetak manusia-manusia yang menjadikan penggolongan-penggolongan berdasarkan 'nation', ras, dan keyakinan

keagamaan mengabdi kepada cita mulia kemanusiaan.

Filsafat tidak ada artinya sama sekali apabila tidak universal, baik dalam ruang lingkupnya maupun dalam semangatnya. Studi filsafat harus membantu orang-orang untuk membangun keyakinan keagamaan atas dasar yang matang secara intelektual. Filsafat dapat mendukung kepercayaan keagamaan seseorang, asal saja kepercayaan tersebut tidak bergantung pada konsepsi prailmiah yang usang, yang sempit dan yang dogmatis. Urusan (concerns) utama agama ialah harmoni, pengaturan, ikatan, pengabdian, perdamaian, kejujuran, pembebasan, dan Tuhan.
Ajaran Kant mengenai Etika

Etika


Dalam Grundlegung zur Metaphysik der Sitten, filsafat Yunani bisa dibagi menjadi 3 bagian yaitu logika, fisika, dan etika. Logika bersifat a priori tapi fisika dan etika memiliki unsur2 a priori dan empiris. Ilmu fisika apriori-empiris ini disebut ilmu alam (Naturlehre) sedangakan ilmu etika apriori-empiris disebut ilmu kesusilaan (Sittenlehre) Metafisika kesusilaan (Metaphysik der Sitten): etika a priori Antropologi praktis (praktische Anhropologie): etika yang bersifat empiris atau aposteriori Moralitas dan Legalitas Legalitas Moralitas Moralitas heterenom Moralitas otonom otonomi kehendak (Autonomie des Willens) Tindakan manusia didasarkan pada dua prinsip:

Maxime : prinsip yang berlaku secara subjektif Prinsip atau kaidah objektif imperative Imperatif hipotesis : perintah bersyarat, berlaku secara umum. Imperatif kategoris : perintah mutlak, berlaku umum, selalu dan dimana-mana (universal) Budi praktis selalu "mampu" kewajiban selalu dapat dilakukan Du kannst, denn du sollst! Kehendak dan hukum adalah satu --> budi praktis yang murni (reine praktische Vernunft) Azas kesusilaan yang transenden.

Kewajiban sebagai Dasar Tindakan Moral Satu-satunya hal baik tanpa kualifikasi atau pengecualian adalah "kehendak baik" (guter Wille) Keharusan itu selalu merupakan kehendak. Pembedaan antarao tindakan "sesuai dengan kewajiban" (pflichtmässig) yaitu tindakan yang dilakukan bukan karena kecenderungan langsung, melainkan semata-mata demi maksud-maksud kepentingan itu sendiri o tindakan yang dilakukan "demi kewajiban" (aus Pflicht) cinta patologis (pathologische Liebe) : cinta reaksional, emosional, spontan-alamiah cinta praktis (Prakriche Liebe) : cinta karena kewajiban, terdapat dalam kehendak tindakan berdasarkan kewajiban ini memiliki nilai moralnya dari prinsip formal atau maxim formal, bukan dari maxim material yaitu prinsip subjektif yang memerintahkan orang untuk melakukan eprbuatan tertentu ini atau itu demi mencapai tujuan tertentu juga.
Dialektika Sokrates 

Kali ini kita akan membahas model Dialektika yang diungkapkan masih oleh salah satu filsuf terkenal dari masa Yunani Kuno, yaitu Sokrates dari Athena. Sokrates terkenal memang bukan karena metode Dialektika. Ia menjadi sangat terkenal karena ia memilih minum racun untuk mempertahankan prinsipnya dalam pengadilan kota Athena. Namun, sebenarnya, peristiwa ini terjadi justru sebagai akibat langsung dari metode Dialektika yang ia pakai. Kenapa demikian?

Metode Dialektika Sokrates agak sedikit berbeda dengan pola yang dipakai oleh Zeno. Ini karena Sokrates memang memaksudkan Dialektika justru pada asal katanya, yaitu bercakap-cakap atau berdialog. Ya, Sokrates memang adalah orang yang senang bercakap dengan orang lain yang bertemu dengannya di sepanjang jalan kota Athena. Ia selalu mengajak mereka diskusi untuk sesuatu yang ia anggap penting.

Tapi, tentu saja percakapan model diskusi yang dilakukan oleh Sokrates memang tidak selamanya disambut hangat. Apalagi bila dipandang dari kacamata kaum Sofis. Mereka ini adalah rival Sokrates. Ini karena kaum Sofis adalah sekelompok orang yang justru mengambil keuntungan dari masyarakat melalui kecakapannya berorasi atau berpidato. Nah, seringkali kaum Sofis ini dibuat jengkel oleh Sokrates karena mereka merasa dipermalukan di depan banyak orang dengan metode Dialektika. Lalu, seperti apa yang sebenarnya telah dilakukan oleh Sokrates dengan Dialektika ini?

Berikut adalah ilustrasi yang dibuat untuk memberikan gambaran seperti apa kiranya metode Dialektika yang dipergunakan oleh Sokrates.

Suatu hari, Sokrates bertemu dengan Meno, sahabat lamanya, di kios ikan pasar Athena. Begitu senangnya, sehingga mereka lama berpelukan. Sokrates kemudian mengajak Meno untuk rehat di sebuah emperan rumah dekat pasar sambil sekaligus berteduh.

"Apa yang sedang kau lakukan saat ini, wahai Meno saudaraku?"
"Aku sedang menjajagi untuk membuka kios usaha di Megara, Sokrates. Makanya aku berkunjung ke Athena untuk melihat bagaimana mereka mengelola kiosnya dan barang-barang apa saja yang dapat ku ambil dari sini."

"Oh begitu. Bukankah engkau sudah punya ladang gandum yang begitu luas dari ayahmu? Apa itu tidak cukup untuk memenuhi semua kebutuhanmu?"
"Tidak Sokrates. Itu belum cukup bagiku. Aku ingin lebih dari ayahku. Ingin seperti Kranos, saudagar terkaya di Megara. Dia hidup sangat senang dengan semua kemewahan yang ia punya.".
Sudut Pandang FIlsafat

Materialisme adalah asal atau hakikat dari segala sesuatu, dimana asal atau hakikat dari segala sesuatu ialah materi. Karena itu materialisme mempersoalkan metafisika, namun metafisikanya adalah metafisika materialisme.
Materialisme adalah merupakan istilah dalam filsafat ontology yang menekankan keunggulan faktor-faktor material atas spiritual dalam metafisika, teori nilai, fisiologi, efistemologi, atau penjelasan historis. Maksudnya, suatu keyakinan bahwa di dunia ini tidak ada sesuatu selain materi yang sedang bergerak. Pada sisi ekstrem yang lain, materialisme adalah sebuah pernyataan yang menyatakan bahwa pikiran ( roh, kesadaran, dan jiwa ) hanyalah materi yang sedang bergerak.
Materi dan alam semesta sama sekali tidak memiliki karakteristik-karakteristik pikiran dan tidak ada entitas-entitas nonmaterial. Realitas satu-satunya adalah materi. Setiap perubahan bersebab materi atau natura dan dunia fisik.
Beberapa tokoh pemikir materialisme, antara lain :

Karl Marx (1818-1883)
Marx lahir di Trier Jerman pada tahun 1818.ayahnya merupakan seorang Yahudi dan pengacara yang cukup berada, dan ia masuk Protestan ketika Marx berusia enam tahun. Setelah dewasa Marx melanjutkan studinya ke universitas di Bonn, kemudian Berlin. Ia memperoleh gelar doktor dengan desertasinya tentang filsafat Epicurus dan Demoktirus. Kemudian, ia pun menjadi pengikut Hegelian sayap kiri dan pengikut Feurbach. Dalam usia dua puluh empat tahun, Marx menjadi redaktur Koran Rheinich Zeitung yang dibrendel pemerintahannya karena dianggap revolusioner.
Setelah ia menikah dengan Jenny Von Westphalen (1843) ia pergi ke Paris dan disinilah ia bertemu dengan F.Engels dan bersahabat dengannya. Tahun 1847, Marx dan Engels bergabung dengan Liga Komunis, dan atas permintaan liga komunis inilah, mereka mencetuskan Manifesto Komunis (1848).
Dasar filsafat Marx adalah bahwa setiap zaman, system produksi merupakan hal yang fundamental. Yang menjadi persoalan bukan cita-xita politik atau teologi yang berlebihan, melainkan suatu system produksi. Sejarah merupakan suatu perjuangan kelas, perjuangan kelas yang tertindas melawan kelas yang berkuasa. Pada waktu itu Eropa disebut kelas borjuis. Pada puncaknya dari sejarah ialah suatu masyarakat yang tidak berkelas, yang menurut Marx adalah masyarakat komunis.
Pandangan Marx tentang agama, sama seperti halnya Feurbech, yang memandangagama sebagai proyeksi kehendak manusia. Perasaan atau gagasan keagamaan merupakan hasil kemauan suatu masyarakat tertentu, yang berada di dunia sekarang ini. Agama dihasilkan oleh masyarakat, oleh Negara, oleh perorangan, bukan berasal dari dunia ghaib. Pandangan ini terutama yang paling bertentangan dengan ajaran Pancasila.


Thomas Hobbes (1588-1679 M)
Menurut Thomas Hobbes materialisme menyangkal adanya jiwa atau roh karena keduanya hanyalah pancaran dari materi. Dapat dikatakan juga bahwa materialisme menyangkal adanya ruang mutlak lepas dari barang-barang material.

Hornby (1974)
Menurut Hornby materialisme adalah theory, belief, that only material thing exist (teori atau kepercayaan bahwa yang ada hanyalah benda-benda material saja).

Sebagian ahli lain mengatakan bahwa materialisme adalah kepercayaan bahwa yang ada hanyalah materi dalam gerak. Juga dikatakan kepercayaan bahwa pikiran memang ada, tetapi adanya pikiran disebabkan perubahan-perubahan materi. Materialisme juga berarti bahwa materi dan alam semesta tidak memiliki karakteristik pikiran, seperti tujuan, kesadaran, niat, tujuan, makna, arah, kecerdasan, kemauan atau upaya. Jadi, materialisme tidak mengakui adanya entitas nonmaterial, seperti roh, hantu, malaikat. Materialisme juga tidak mempercayai adanya Tuhan atau alam supranatural. Oleh sebab itu, penganut aturan ini menganggap bahwa satu-satunya realitas yang ada hanyalah materi. Segala perubahan yang tercipta pada dasarnya berkausa material. Pada ekselasi material menjadi suatu keniscayaan pada being of phenomena. Pada akhirnya dinyatakan bahwa materi dan segala perubahannya bersifat abadi.

Van Der Welj (2000)
Van Der Welj mengatakan bahwa materialisme dengan menyatakan bahwa materialisme ini terdiri atas suatu aglomerasi atom-atom yang dikuasai aleh hukum-hukum fisika-kimiawi. Bahkan, terbentuknya manusia sangat dimungkinkan berasal dari himpunan atom-atom tertinggi. Apa yang dikatakan kesadaran, jiwa, atau roh sebenarnya hanya setumpuk fungsi kegiatan dari otak yang bersifat sangat organik-materialistis.

Macam-Macam Materialisme :
  1. Materialisme rasionalistik. Materialisme rasionalistik menyatakan bahwa seluruh realitas dapat dimengeti seluruhnya berdasarkan ukuran dan bilangan (jumlah);
  2. Materialisme mitis atau biologis. Materialisme mitis atau biologis ini menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa material terdapat misteri yang mengungguli manusia. Misteri itu tidak berkaitan dengan prinsip immaterial.
  3. Materialisme parsial Materialisme parsial ini menyatakan bahwa pada sesuatu yang material tidak tedapat karakteristik khusus unsur immaterial atau formal;
  4. Materialisme antropologis. Materialisme antropologis ini menyatakan bahwa jiwa itu tidak ada karena yang dinamakan jiwa pada dasarnya hanyalah materi atau perubahan-perubahan fisik-kimiawi materi;
  5. Materialisme dialektik. Materialisme dialektik ini menyatakan bahwa realitas seluruhnya terdiri dari materi. Berarti bahwa tiap-tiap benda atau atau kejadian dapat dijabarkan kepada materi atau salah satu proses material. Salah satu prinsif di materialisme dialektik adalah bahwa perubahan dalam kuantitas. Oleh karena itu, perubahan dalam materi dapat menimbulkan perubahan dalam kehidupan, atau dengan kata lain kehidupan berasal dari materi yang mati. Semua makhluk hidup termasuk manusia berasal dari materi yang mati, dengan proses perkembangan yang terus-menerus ia menjadi materi yang memiliki kehidupan. Oleh karena itu kalau manusia mati, ia akan kembali kepada materi, tidak ada yang disebut dengan ke hidupan rohaniah. Ciri-ciri materialisme dialektik mempunyai asas-asas, yaitu :

    • Asas gerak;
    • Asas saling berhubungan;
    • Asas perubahan dari kuantitaif menjadi kualitatif;
    • Asas kontradiksi intern.

  1. Materialisme historis. Materialisme histories ini menyatakan bahwa hakikat sejarah terjadi karena proses-proses ekonomis. Materialisme dialektik dan materialisme histories secar bersamaan menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa yang menyangkut sejarah rohani dan perkembangan manusia hanya merupakan dampak dan refleksi-refleksi aktivitas ekonomis manusia. Materialisme historis ini berdasarkan dialektik, maka semua asas materialisme dialektik berlaku sepenuhnya dalam materialisme histories.
  2. Materialisme sebagai teori menyangkal realitas yang bersifat ruhaniah, sedangkan materialisme metode mencoba membuat abstraksi hal-hal yang bersifat imaterial.
FIlsafat Analitk
.Latar Belakang Timbulnya Filsafat Analitik.
Dalam sejarah filsafat barat diakui bahwa inggris merupakan tempat yang paling subur bagi perkembangan empirisme, yaitu suatu aliran filsafat yang menganggap bahwa pengalaman adalah sarana yang paling dipercaya untuk memperoleh kebenaran.
 Tokoh-tokoh empirisme seperti John Locke, David Hume dan lain-lain adalah filsuf inggris yang sudah terkenal namanya di dalam sejarah filsafat barat. Pengaruh pemikran mereka (Locke dan Hume) telah mendominasi corak filsafat inggris pada khususnya dan filsafat barat pada umumnya.
Meskipun kubu empirisme yang secara penuh bertentangan dengan kubu rasionalisme –aliran filsafat yang lebih menitikberatkan akal untuk memperoleh kebenaran- pada akhirnya dipadukan oleh Immanuel Kant, namun pengaruh pemiiran mereka belum lagi terhenti sampai disitu.
Positivisme Agust Comte yang berhasil mendorong lajunya perkebangan ilmu-ilmupengetahuan, masih bertaut erat dengan dasar-dasar pemikiran empirisme. Pengaruh pemikiran empirisme ini mulai memudar manakala gaung filsafat Heggel, Idealisme, mulai masuk ke inggris pada pertengahan abad ke-19.
Filsafat Hegel yang menguasai atau merajai dunia di seantero eropa itu berhasil meluluhlantakan pengaruh pemikiran empirisme dikandangnya sendiri yait inggris.
Tetapi pada awal abad ke-20 iklim filsafat (khususnya di Inggris) mulai berubah. Para ahli fakir inggris mulai mencurigai atau meragukan ungkapan-ungkapan filsafat yang dilontarkan oleh kaum Hegelian (pengikut Hegel). 
Para filsuf inggris menilai ungkapan filsafat idealisme bukan saja sulit dipahami tetapi juga telah menyimpang jauh dari akal sehat. Oleh karena itu para  filsuf inggris berupaya melepaskan diri dari cengkraman filsafat idealisme.
Revolusi yang ditiupkan oleh para filsuf tersebut yang cukup terkenal yaitu G.E.Moore segera disambut hangat oleh tokohCambridge lainnya Bertrand Russelstein. Melalui Wittgensteininilah revolusi yang menentang pengaruh kaum hegelilan itu muncul metolde filsafat yangbaru yaitu metode analisa bahasa.
Metode analisa bahasa yang ditampilkan oleh Wittgenstein berhasiil membentuk pola pemikiran baru dalam dunia filsafat. Dengan metode analisis bahasa itu tugas filsafat bukanalah membuat pernyataan tentang sesuatu yang khusus, melainkan memecahkan persoalan yang timbul akibat ketidakfahaman terhadap bahasa logika.
Hal ini berarti analisa bahasa terus bersifat kritik terhadap bahasa (critical of language) yang dipergunakan dalam filsafat.
Metode filsafat bahasa inilah yangtelah membawa angina segar ke dalam dunia filsafat (terutama di inggris) karena kebanyaka orang menganggap bahasa filsafat terlalu berlebihan dalam mengungkapkan realitas.
Begitu banyak istilah atau ungkapan yang aneh dalam filsafat (seperti : eksistensi, nothingness, substansi dan lain-lain) sehingga menimbulkan teka-teki yang membingungkan para peminat filsafat.

B.Ruang Lingkup Filsafat Analitik.
Sulit untuk menentukan corak pemikiran filsafat barat di abad ke-20 ini karena begitu luasnya permasalahan yang dibicarakan dalam dunia filsafat tersebut.
Salah satu cara untuk mengetahui corak pemikiran filsafat barat ini adalah dengan melihat periodisasi yang dibuat oleh para ahli filsafat. Secara umum periodisasi pemikiran filsafat barat itu dapat dibedakan atau dikelompokan menjadi berikut ini yaitu:
Zaman Yunani Kuno (abad 7-5 SM).
Pada masa ini filsafat lebih bercorak “kosmosentris”, artinya para filsuf pada waktu itu mengarahkan perhatian mereka terhadap masalah-masalah mereka yang berkaitan dengan asal mula terjadinya alam semesta.
Mereka berupaya mencari jawaban tentang prinsip pertama (arkhe) dari alam semesta oleh karena itu mereka lebih dikenal dengan julukan “filsuf-filsuf alam”. Tokoh yang termahsyur ialah: Thales, Anaximandros, Anaximenes dan lain-lain.
 Zaman Yunani Klasik (abad 5-2 SM).
Pada masa ini filsafat lebih bercorak “Antrophosentris” artinya para filsuf dari periode ini menjadikan manusia sebagai objek pemikiran filsafat mereka.
Mereka berupaya mencari jawaban tentang masalah etika dan juga tentang hakekat manusia. Tokoh yang terkenal pada waktu itu antara lain ialah Socrates, Plato, Aristoteles. 
 Abad Pertengahan (abad 2-14 SM).
Pada masa ini filsafat lebih bercorak “Theosentris” artinya para filsafat dalam periode ini menjadika filsafat sebagai abdi agama atau filsafat diarahkan pada masalah ketuhanan.
Suatu karya filsafat dinilai benar sejauh tidak menyimpang dari ajaran agama (Kristen). Tokoh yang paling terkenal pada waktu itu ialah Augustinus dan Thomas Aquinas.
 Zaman Renaissance (abad 14-16 SM).
Pada masa ini para ahli filsafat berupaya melepaskan diri dari dogma-dogma agama. Bagi mereka citra filsafat yang paling bergengsi adalah zaman klasik Yunani kuno.
Oleh karena itu mereka mendambakan kelahiran kembali filsafat yang bebas yang tidak terikat pada ajaran agama. Cita-cita ini terwujud dengan baik karena ditunjang oleh factor penyebab sebagai berikut :
  Pudarnya kewibaan dewan gereja pada masa itu karena dianggap terlalu banyak mencampuri kegiatan-kegiatan ilmiah. Misalnya hukuman bakAr yang dikenakan terhadap Bruno lantaran kegiatan ilmiahnya dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama.
  Orang tidak lagi mempercayai nilai-nilai universal yang dianggap terlalu abstrak. Orang-orang pada masa itu lebih mendambakan nilai-nilai individual yang bersifat konkrit dan lebih banyak memberikan kesempatan untuk menggunakan akal fikiran secar bebas.
Abad Modern (abad 16-19 SM).
Corak pemikiran filsafat pada masa ini kembali pada masalah “Antrophosentris” serupa dengan zaman klasik Yunani namun lebih mengutamakan kemampuan akal fikiran manusia.
Tokoh yang termahsyur pada masa ini antara lain: Descrates, Hume, Immanuel Kant, Hegel dan August Comte.
 Abad Keduapuluh.
Meskipun sulit untuk menetukan corak pemikiran filsafat yang khas pada masa ini namun banyak ahli filsafat yang menganggap filsafat yang bercorak “Logosentris” lebih dominant daripada yang lain.
“Logosentris” artinya kebanyakan filsuf pada masa ini melihat bahasa sebagai obyek terpenting pemikiran mereka.

Para Filosof Berbicara Tentang Analitik
A.Socrates.
Filsuf ini piawai dari Athena dan hidup pada masa filsafat hanya dipakai sebagai silat lidah oleh kaum Sofis. Kaum Sofis inilah yang membawa perubahan terhadap corak pemikiran filsafat yang semula terarah pada Kosmo (alam semesta) menjadi corak berfikir filsafat yang terarah pada teori pengetahuan dan etika.
Kekacauan filsafat yang mulai timbul pada saat kaum sofis memberikan criteria yang berada tetntang dasar-dasar teori pengetahuan dan etika. Mereka tidak memiliki kesepakatan tentang dasar-dasar umum yang berlaku bagi ke dua teori tersebut.
Mereka hanya mencapai kata sepakat mengenai satu hal: kebenaran yang sesungguhnya tidak mungkin dapat tercapai, segala sesuatu hanya bersifat nisbi oleh karena itu harus diragukan kebenarannya.
Dalam situasi yang kacau itulah Socrates tampil kearena filsafat untuk menghadapi pengaruh kaum sofis. Metode yang dipakai Socrates untuk menghadapi kelihaian silat lidah kaum sofis itu dikenal sebagai metode Dialektik-Kritis.
Proses dialektika di sini mengandung arti “dialog antara dua pendirian yang bertentangan ataupun merupakan perkembangan pemikiran denagn memakai pertemuan antar ide”.
Sedangkan sikap kritis itu berarti Socrates tidak mau menginginkan begitu saja sesuatu pengertian sebelum dilakukan pengujian untuk membutikan benar atau salahnya. Oleh karena itu dalam melaksanakan metode Dialektik-Kritis ini Socrates selalu meminta penjelasan tentang sesuatu pengertian dari orang yang dianggapnya ahli dalam bidang tersebut.
  Setelah diperoleh penjelasan tentang pengertian tersebut dari ahlinya Socrates kemudian mengajukan serangkaian pertanyaan mengenai dasar-dasar pemikiran para ahli tersebut apa alasan merekasehingga berpandangan demikian.
Jadi Socrates selalu menuntut kemampuan para ahli umtuk mempertanggung jawabkan pengetahuannya dengan alasan yang benar. Apabila diperoleh jawaban yang didukung dengan alasan yang benar, maka ide yang telah teruji tadi akan diterimanya sebgai pengetahuan yang benar untuk sementara sebelum dilakukan pengujian lebih lanjut melalui cara perbandingan.

B.Aristoteles.
Filsuf piawai kelahiran Stageira ini termasuk salah seorang cucu muri Socrates yang paling jenius dalam bidang filsafat.
Ia telah banyak menulis karya filsafat salah satu diantara karyanya ialah Organon dan merupakan sumbangan paling berharga bagi bidang filsafat analitik tersebut.
 Pokok soal yang dibahas Aristoteles dalam organon yang kemudian lebih dikenal dengan nama logika tradisional itu meliputi pengertian dan penggolongan artian, keterangan, batasan, susunan fikiran, penyimpulan langsung dan kesesatan berfikir adalah butir-butir pemikiran yang bertaut erat dengan bahasa.
Dengan mempelajari aturan fikiran yang diajukan Aristoteles tersebut kita dapat memperoleh keputusan yang terjamin keabsahan (valid). Keseluruhan maksud dalam putusan yang diutarakan dengan kata atau rangkaian kata tersebut disebut kalimat.
Bahasa dengan kata dan kalimat memang alat dan penjelmaan berfikir sebab itu logika erat hubungannya dengan bahasa dan dari sinilah kita dapat melihat besarnya pengaruh yang ditanamkan Aristoteles terhadap pemikiran tokoh-tokoh filsafat analitik, terutama kaum atomisme logic dan positivisme logic.
Dengan demikian upaya sebagian besar filsuf analitik untuk menerapkan penggunaan bahasa logika ke dalam bidang filsafat, seraya nyata telah memperlihatkan pengaruh pemikiran yang kuat.
Kendatipun bidang logika dalam kurun waktu belakangan ini telah mengalami perkembangan yang cukup pesat (dinamakan logika modern atau logika simbolik) namun dasar-dasar pemikiran yang digariskan Aristoteles sebelumnya masih tetap merupakan bahan pemikiranyang actual.

C.David Hume
  Tokoh empirisme yang berasal dari inggris ini menganggap pengalaman sebagai sarana yang paling memadai untuk mencapai kebenaran. Bagi Hume sumber segala pengertian filosofis itu adalah pengalaman inderawi yang meliputi isi pengertian, hubungan natara pengertian serta kepastian pengertian.
Pandangan demikian ini jelas bertentangan dengan pandangan Descrates yang lebih mempercayai akal sebagai sarana untuk mencapai kebenaran. Memang disanalah letak pertentangan natara kaum rasionalis dengan kaum empirisme tersebut.
Meski Hume mengakui bahwa sikap skeptis secara metodis dari Descrates berguna untuk memerangi metafisika, namun ia tidak mempercayai setiap skeptis itu dapat membahayakan common sense (akal sehat).
Sumbangan Hume lainnya bagi pertumbuhan filsafat analitik adalah pandanganya mengenai ide sederhana dan ide kompleks. Bagi Hume “ide yang sederhana itu adalah copy dari perasaan yang sederhana dan ide yang kompleks dibentuk dari gabungan ide sederhana atau kesan yang kompleks”.
Pandangan Hume in kelak akan diambil ahli oleh Russel untuk menjelaskan ajarannya mengenai Atomisme Logik terutama pembahasan Russel tentang Particularia.
Selanjutnya dalam upaya untuk menyingkirkan istilah-istilah kosong Hume menunjukan suatu cara pemberia reduktif artinya meneliti ide-ide komples yang lazim dipergunakan, sejauh mana ide itu dapat dipertanggung jawabkannya.
Apakah ide-ide kompleks itu dapat dikembalikan pad aide sederhana yang membentuknya. Jikalau suatu istilah tidak terbukti menyajikan ide yang dapat dianalisa menjadi komponen yang simple (ide sederhana) maka istilahnya tersebut tidak mempunyai arti.

D.Immanuel Kant
Filsuf jerman kelahiran Konigsberg ini dikenal sebagai tokoh kritisme. Filsafat kritis yang ditampilkannya bertujuan untuk menjembatani pertentangan antara kaum Rasionalisme dengan kaum empirisme.
Menurut Kant pengetahuan yang dihasilkan oleh kaum rasionalisme tercermin dalam putusan yang bersifat analitik-apriori yaitu suatu bentuk putusan dimana predikat sudah termasuk dengan sendirinya ke dalam subyek.
Putusan yang bersifat analitik-apriori ini memang mengandung kepastian dan berlaku umum tetapi tidak memberikan sesuatu yang baru bagi kita. Sedangkan pengetahuan yang dihasilkan oleh kaum empirisme itu tercermin dalam putusan yangbersifat Sintentik-aposteriori yaitu suatu bentuk putusan dimana predikat belum termasuk kedalam subyek.
Meski putusan yang bersifat sintetik-aposteriori ini memberikan pengetahuan yang baru bagi kita namun sifatnya tidak tetap, sangat tergantung pada ruang dan waktu dan kebenaran disini bersifat subjektif.

FIlsafat Fenomenologi
Pengertian Pokok.

Secara harfiah Fenomenalisme adalah aliran atau faham yang menganggap bahwa Fenomenalisme (gejala) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Seorang Fenomenalisme suka melihat gejala. Dia berbeda dengan seorang ahli ilmu positif yang mengumpulkan data, mencari korelasi dan fungsi, serta membuat hukum-hukum dan teori. Fenomenalisme bergerak di bidang yang pasti. Hal yang menampakkan dirinya dilukiskan tanpa meninggalkan bidang evidensi yang langsung. Fenomenalisme adalah suatu metode pemikiran, "a way of looking at things".


Gejala adalah aktivitas, misalnya gejala gedung putih adalah gejala akomodasi, konvergensi, dan fiksasi dari mata orang yang melihat gedung itu, di tambah aktivitas lain yang perlu supaya gejala itu muncul. Fenomenalisme adalah tambahan pada pendapat Brentano bahwa subjek dan objek menjadi satu secara dialektis. Tidak mungkin ada hal yang melihat. Inti dari Fenomenalisme adalah tesis dari "intensionalisme" yaitu hal yang disebut konstitusi.

Menurut Intensionalisme (Brentano) manusia menampakkan dirinya sebagai hal yang transenden, sintesa dari objek dan subjek. Manusia sebagai entre au monde (mengada pada alam) menjadi satu dengan alam itu. Manusia mengkonstitusi alamnya. Untuk melihat sesuatu hal, saya harus mengkonversikan mata, mengakomodasikan lensa, dan mengfiksasikan hal yang mau dilihat. Anak yang baru lahir belum bisa melakukan sesuatu hal, sehingga benda dibawa ke mulutnya.
Hakekat Fenomenologi
Fenomenologi (Inggris: Phenomenology) berasal dari bahasa Yunani phainomenon dan logos. Phainomenon berarti tampak dan phainen berarti memperlihatkan. Sedangkan logos berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan. Dengan demikian, fenomenologi secara umum dapat diartikan sebagai kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak. Lorens Bagus memberikan dua pengertian terhadap fenomenologi. Dalam arti luas, fenomenologi berarti ilmu tentang gejala-gejala atau apa saja yang tampak. Dalam arti sempit, ilmu tentang gejala-gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita. 
Sebagai sebuah arah baru dalam filsafat, fenomenologi dimulai oleh Edmund Husserl (1859 – 1938), untuk mematok suatu dasar yang tak dapat dibantah, ia memakai apa yang disebutnya metode fenomenologis. Ia kemudian dikenal sebagai tokoh besar dalam mengembangkan fenomenologi. Namun istilah fenomenologi itu sendiri sudah ada sebelum Husserl. Istilah fenomenologi secara filosofis pertama kali dipakai oleh J.H. Lambert (1764). Dia memasukkan dalam kebenaran (alethiologia), ajaran mengenai gejala (fenomenologia). Maksudnya adalah menemukan sebab-sebab subjektif dan objektif ciri-ciri bayangan objek pengalaman inderawi (fenomen).
Immanuel Kant memakai istilah fenomenologi dalam karyanya Prinsip-Prinsip Pertama Metafisika (1786). Maksud Kant adalah untuk menjelaskan kaitan antara konsep fisik gerakan dan kategori modalitas, dengan mempelajari ciri-ciri dalam relasi umum dan representasi, yakni fenomena indera-indera lahiriah.
Hegel (1807) memperluas pengertian fenomenologi dengan merumuskannya sebagai ilmu mengenai pengalaman kesadaran, yakni suatu pemaparan dialektis perjalanan kesadaran kodrati menuju kepada pengetahuan yang sebenarnya. Fenomenologi menunjukkan proses menjadi ilmu pengetahuan pada umumnya dan kemampuan mengetahui sebagai perjalanan jiwa lewat bentuk-bentuk atau gambaran kesadaran yang bertahap untuk sampai kepada pengetahuan mutlak. Bagi Hegel, fenomena tidak lain merupakan penampakkan atau kegejalaan dari pengetahuan inderawi: fenomena-fenomena merupakan manifestasi konkret dan historis dari perkembangan pikiran manusia.
Edmund Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu analisis deskriptif serta introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung; religius, moral, estetis, konseptual, serta indrawi. Perhatian filsafat, menurutnya, hendaknya difokuskan pada penyelidikan tentang Labenswelt (dunia kehidupan) atau Erlebnisse (kehidupan subjektif dan batiniah). Penyelidikan ini hendaknya menekankan watak intensional kesadaran, dan tanpa mengandaikan praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris. 
Fenomenologi merupakan metode dan filsafat. Sebagai metode, fenomenologi membentangkan langkah-langkah yang harus diambil sehingga kita sampai pada fenomena yang murni. Fenomenologi mempelajari dan melukiskan ciri-ciri intrinsik fenomen-fenomen sebagaimana fenomen-fenomen itu sendiri menyingkapkan diri kepada kesadaran. Kita harus bertolak dari subjek (manusia) serta kesadarannya dan berupaya untuk kembali kepada “kesadaran murni”. Untuk mencapai bidang kesadaran murni, kita harus membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran kehidupan sehari-hari. Sebagai filsafat, fenomenologi menurut Husserl memberi pengetahuan yang perlu dan esensial mengenai apa yang ada. Dengan demikian fenomenologi dapat dijelaskan sebagai metode kembali ke benda itu sendiri (Zu den Sachen Selbt), dan ini disebabkan benda itu sendiri merupkan objek kesadaran langsung dalam bentuk yang murni. 
Secara umum pandangan fenomenologi bisa dilihat pada dua posisi. Pertama ia merupakan reaksi terhadap dominasi positivisme, dan kedua, ia sebenarnya sebagai kritik terhadap pemikiran kritisisme Immanuel Kant, terutama konsepnya tentang fenomena – noumena. Kant menggunakan kata fenomena untuk menunjukkan penampakkan sesuatu dalam kesadaran, sedangkan noumena adalah realitas (das Ding an Sich) yang berada di luar kesadaran pengamat. Menurut Kant, manusia hanya dapat mengenal fenomena-fenomena yang nampak dalam kesadaran, bukan noumena yaitu realitas di luar yang kita kenal.
Husserl menggunakan istilah fenomenologi untuk menunjukkan apa yang nampak dalam kesadaran kita dengan membiarkannya termanifestasi apa adanya, tanpa memasukkan kategori pikiran kita padanya. Berbeda dengan Kant, Husserl menyatakan bahwa apa yang disebut fenomena adalah realitas itu sendiri yang nampak setelah kesadaran kita cair dengan realitas. Fenomenologi Husserl justru bertujuan mencari yang esensial atau eidos (esensi) dari apa yang disebut fenomena dengan cara membiarkan fenomena itu berbicara sendiri tanpa dibarengi dengan prasangka (presupposition). 
Sebagai reaksi terhadap positivisme, filsafat fenomenologi berbeda dalam memandang objek, bila dibandingkan dengan filsafat positivisme, baik secara ontologis, epistemologis, maupun axiologis. Dalam tataran ontologism, yang berbicara tentang objek garapan ilmu, filsafat positivisme memandang realitas dapat dipecah-pecah menjadi bagian yang berdiri sendiri, dan dapat dipelajari terpisah dari objek lain, serta dapat dikontrol. Sebaliknya, filsafat fenomenologi memandang objek sebagai kebulatan dalam konteks natural, sehingga menuntut pendekatan yang holistik, bukan pendekatan partial.
Dalam tataran epistemologis, filsafat positivisme menuntut perencanaan penilitian yang rinci, konkrit dan terukur dari semua variabel yang akan diteliti berdasarkan kerangka teoritik yang spesifik. Tata cara penelitian yang cermat ini kemudian dikenal dengan penelitian kuantitatif. Teori yang dibangun adalah teori nomothetik, yaitu berdasarkan pada generalisasi atau dalil-dalil yang berlaku umum. Sebaliknya, filsafat fenomenologi menuntut pemaknaan dibalik realitas, sehingga perlu keterlibatan subjek dengan objek, dan subjek bertindak sebagai instrumen untuk mengungkap makna dibalik suatu realitas menurut pengakuan, pendapat, perasaan dan kemauan dari objeknya. Tatacara penelitian seperti ini kemudian dikenal dengan penelitian kualitatif. Teori yang dibangun adalah teori ideografik, yaitu upaya memberikan deskripsi kultural, human atau individual secara khusus, artinya hanya berlaku pada kasus yang diteliti. 
Pada tataran axiologis, filsafat positivisme memandang kebenaran ilmu itu terbatas pada kebenaran empiric sensual – logik dan bebas nilai. Sebaliknya, filsafat fenomenologi mengakui kebenaran ilmu secara lebih luas, yaitu mengakui kebenaran empirik sensual, kebenaran logik, kebenaran etik dan kebenaran transcendental. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai (value free), akan tetapi bermuatan nilai (value bond), tergantung pada aliran etik yang dianutnya, apakah naturalisme, hedonisme, utilitarianisme, idealisme, vitalisme, ataukah theologisme atau pandangan filsafat yang lain. 

B. Fenomenologi Sebagai Metode Ilmu
Fenomenologi berkembang sebagai metode untuk mendekati fenomena-fenomena dalam kemurniannya. Fenomena disini dipahami sebagai segala sesuatu yang dengan suatu cara tertentu tampil dalam kesadaran kita. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu yang nyata, yang berupa gagasan maupun kenyataan. Yang penting ialah pengembangan suatu metode yang tidak memalsukan fenomena, melainkan dapat mendeskripsikannya seperti penampilannya tanpa prasangka sama sekali. Seorang fenomenolog hendak menanggalkan segenap teori, praanggapan serta prasangka, agar dapat memahami fenomena sebagaimana adanya: "Zu den Sachen Selbst" (kembali kepada bendanya sendiri). 
Tugas utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia dengan realitas. Bagi Husserl, realitas bukan suatu yang berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang mengamati. Realitas itu mewujudkan diri, atau menurut ungkapan Martin Heideger, yang juga seorang fenomenolog: “Sifat realitas itu membutuhkan keberadaan manusia”. Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai “Hakikat segala sesuatu”.
Untuk itu, Husserl mengajukan dua langkah yang harus ditempuh untuk mencapai esensi fenomena, yaitu metode epoche dan eidetich vision. Kata epoche berasal dari bahasa Yunani, yang berarti: “menunda keputusan” atau “mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga berarti tanda kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari suatu fenomena yang nampak, tanpa memberikan putusan benar salahnya terlebih dahulu. Fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat. Untuk itu, Husserl menekankan satu hal penting: Penundaan keputusan. Keputusan harus ditunda (epoche) atau dikurung dulu dalam kaitan dengan status atau referensi ontologis atau eksistensial objek kesadaran. 
Selanjutnya, menurut Husserl, epoche memiliki empat macam, yaitu :
1. Method of historical bracketing; metode yang mengesampingkan aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adapt, agama maupun ilmu pengetahuan.
2. Method of existensional bracketing; meninggalkan atau abstain terhadap semua sikap keputusan atau sikap diam dan menunda.
3. Method of transcendental reduction; mengolah data yang kita sadari menjadi gejala yang transcendental dalam kesadaran murni.
4. Method of eidetic reduction; mencari esensi fakta, semacam menjadikan fakta-fakta tentang realitas menjadi esensi atau intisari realitas itu. 
Dengan menerapkan empat metode epoche tersebut seseorang akan sampai pada hakikat fenomena dari realitas yang dia amati.

C. Kontribusi Fenomenologi Terhadap Dunia Ilmu Pengetahuan
Memperbincangkan fenomenologi tidak bisa ditinggalkan pembicaraan mengenai konsep Lebenswelt (“dunia kehidupan”). Konsep ini penting artinya, sebagai usaha memperluas konteks ilmu pengetahuan atau membuka jalur metodologi baru bagi ilmu-ilmu sosial serta untuk menyelamatkan subjek pengetahuan.
Edmund Husserl, dalam karyanya, The Crisis of European Science and Transcendental Phenomenology, menyatakan bahwa konsep “dunia kehidupan” (lebenswelt ) merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi (mengatasi) ilmu pengetahuan yang tengah mengalami krisis akibat pola pikir positivistik dan saintistik, yang pada prinsipnya memandang semesta sebagai sesuatu yang teratur – mekanis seperti halnya kerja mekanis jam. Akibatnya adalah terjadinya 'matematisasi alam' dimana alam dipahami sebagai keteraturan (angka-angka). Pendekatan ini telah mendehumanisasi pengalaman manusia karena para saintis telah menerjemahkan pengalaman manusia ke formula-formula impersonal. 
Dunia kehidupan dalam pengertian Husserl bisa dipahami kurang lebih dunia sebagaimana manusia menghayati dalam spontanitasnya, sebagai basis tindakan komunikasi antar subjek. Dunia kehidupan ini adalah unsur-unsur sehari-hari yang membentuk kenyataan seseorang, yakni unsur dunia sehari-hari yang ia alami dan jalani, sebelum ia menteorikannya atau merefleksikannya secara filosofis.
Konsep dunia kehidupan ini dapat memberikan inspirasi yang sangat kaya kepada ilmu-ilmu sosial, karena ilmu-ilmu ini menafsirkan suatu dunia, yaitu dunia sosial. Dunia kehidupan sosial ini tak dapat diketahui begitu saja lewat observasi seperti dalam eksperimen ilmu-ilmu alam, melainkan terutama melalui pemahaman (verstehen ). Apa yang ingin ditemukan dalam dunia sosial adalah makna, bukan kausalitas yang niscaya. Tujuan ilmuwan sosial mendekati wilayah observasinya adalah memahami makna. Seorang ilmuwan sosial, dalam hal ini, tidak lebih tahu dari pada para pelaku dalam dunia sosial itu. Oleh karena itu, dengan cara tertentu ia harus masuk ke dalam dunia kehidupan yang unsur-unsurnya ingin ia jelaskan itu. Untuk dapat menjelaskan, ia harus memahaminya. Untuk memahaminya, ia harus dapat berpartisipasi ke dalam proses yang menghasilkan dunia kehidupan itu. 
Kontribusi dan tugas fenomenologi dalam hal ini adalah deskripsi atas sejarah lebenswelt (dunia kehidupan) tersebut untuk menemukan ‘endapan makna’ yang merekonstruksi kenyataan sehari-hari. Maka meskipun pemahanan terhadap makna dilihat dari sudut intensionalitas (kesadaran) individu, namun ‘akurasi’ kebenarannya sangat ditentukan oleh aspek intersubjektif. Dalam arti, sejauh mana ‘endapan makna’ yang detemukan itu benar-benar di rekonstruksi dari dunia kehidupan sosial, dimana banyak subjek sama-sama terlibat dan menghayati.
Demikianlah, dunia kehidupan sosial merupakan sumbangan dari fenomenologi, yang menempatkan fenomena sosial sebagai sistem simbol yang harus dipahami dalam kerangka konteks sosio-kultur yang membangunnya. Ini artinya unsur subjek dilihat sebagai bagian tak terpisahkan dari proses terciptanya suatu ilmu pengetahuan sekaligus mendapatkan dukungan metodologisnya.

D. Kritik Terhadap Fenomenologi
Sebagai suatu metode keilmuan, fenomenologi dapat mendeskripsikan fenomena sebagaimana adanya dengan tidak memanipulasi data. Aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima sebelumnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan dikesampingkan untuk mengungkap pengetahuan atau kebenaran yang benar-benar objektif.
Selain itu, fenomenologi memandang objek kajiannya sebagai kebulatan yang utuh, tidak terpisah dari objek lainnya. Dengan demikian fenomenologi menuntut pendekatan yang holistik, bukan pendekatan partial, sehingga diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek yang diamati. Hal ini menjadi suatu kelebihan pendekatan fenomenologi, sehingga banyak dipakai oleh ilmuwan-ilmuwan dewasa ini, terutama ilmuwan sosial, dalam berbagai kajian keilmuan mereka termasuk bidang kajian agama.
Dibalik kelebihan-kelebihannya, fenomenologi sebenarnya juga tidak luput dari berbagai kelemahan. Tujuan fenomenologi untuk mendapatkan pengetahuan yang murni objektif tanpa ada pengaruh berbagai pandangan sebelumnya, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan, merupakan sesuatu yang absurd. Sebab fenomenologi sendiri mengakui bahwa ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai (value-free), tetapi bermuatan nilai (value-bound). Hal ini dipertegas oleh Derrida, yang menyatakan bahwa tidak ada penelitian yang tidak mempertimbangkan implikasi filosofis status pengetahuan. Kita tidak dapat lagi menegaskan objektivitas atau penelitian bebas nilai, tetapi harus sepenuhnya mengaku sebagai hal yang ditafsirkan secara subjektif dan oleh karenanya status seluruh pengetahuan adalah sementara dan relatif. Sebagai akibatnya, tujuan penelitian fenomenologis tidak pernah dapat terwujud. 
Selanjutnya, fenomenologi memberikan peran terhadap subjek untuk ikut terlibat dalam objek yang diamati, sehingga jarak antara subjek dan objek yang diamati kabur atau tidak jelas. Dengan demikian, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan cenderung subjektif, yang hanya berlaku pada kasus tertentu, situasi dan kondisi tertentu, serta dalam waktu tertentu. Dengan ungkapan lain, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan tidak dapat digenaralisasi.

Plato
Yang-Nyata ialah Yang-Material. Materialisme merupakan suatu bentuk realisme, karena paham ini menumbuhkan yang-nyata dengan materi. Tanpa pengecualian sesuatu , seseorang penganut materialisme menganggap bahwa materi ialah satu-satunya hal yang nyata. Materi ialah hal yang terdalam dan bereksistensi atas kekuatan sendiri, dan tidak memerlukan suatu prinsip yang lain untuk menerangkan eksistensinya sendiri. Materi itu sendiri merupakan sumber serta keterangan terdalam bagi berekstensinya segala sesuatu yang ada, bahkan juga bagi adanya. Tokoh materialisme penting yang lain: Jacob Molenschott, Vogt, dan Oswald Materialisme mempunyai peranan penting pada pertengahan abad 19. Ia menjadi aliran filsafat yang cukup besar dan populer pada saat itu. Tapi materialisme yen berkembang bukanlah materilisme metafisik dari tradisi Aufklarung , tapi lebih cenderung marxisme. ?

Materialisme yang meneruskan tradisi Aufklarung, biasa disebut "materialisme mekanis" Materialisme ini memandang manusia seperti sebuah mesin, atau mereduksi seluruh tingkah laku manusia menurut hukum fisika dan kimia. Tokoh materialisme ini adalah Ludwig Bouenchner (1824-1899) dengan sukses besar dengan karyanya Kraft und Stoff (Daya dan Materi) dan Ernst Haeckel (1834-1919) yang mempopulerkan teori evolusi dengan menggunakan prinsip-prinsi materialisme. ? Materialisme yang timbul sebagai reaksi terhadap idealisme Tokoh-tokoh penting dari materialisme ini adalah: Ludwig Feuerbach 91804-1895), Karl Marx (1818-1883), Friedrich Engels (1820-1895)






No comments:

Post a Comment