Seach What Do you Want

Monday 18 October 2010

Fasal Tentang Ijtihad




Arti "ijtihad" menurut bahasa adalah mengeluarkan tenaga atau kemampuan. Ijtihad adalah mengeluarkan segala tenaga dan kemampuan untuk mendapatkan kesimpulan hukum dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.
Syarat-syarat untuk menjadi seorang Mujtahid: pertama, menguasai bahasa Arab, tentu termasuk nahwu, sharaf dan balaghahnya karena Al-Qur’an dan Hadits berbahasa Arab. Tidak mungkin orang akan memahami Al-Qur’an dan Hadits tanpa menguasai bahasa Arab.
Kedua, menguasai dan memahami Al-Qur’an seluruhnya, kalau tidak ia akan menarik suatu hukum dari satu ayat yang bertentangan dengan ayat lain. Contohnya, do’a terhadap orang mati. Ada golongan-golongan yang menyatakan bahwa berdo’a kepada orang mati, bersedekah dan membaca Al-Qur’an tidak berguna dengan dalil.
وَاَنْ لَيْسَ لِلْلاِنْسنِ اِلاَّ مَا سَعَى
Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah ia kerjakan.” (An-Najm: 39)
Hal itu tentu bertentangan dengan banyak ayat yang menyuruh kita mendo’akan orang mati. Dalam ayat lain tercantum:
اَلَّذِيْنَ جَاءُوْا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا اغْفِرْلَنَا وَلاِخْوَانِنَاالَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلاِءْيمنِ
Orang-orang yang datang setelah mereka berkata, yaa Allah ampunilah kami dan saudara kami yang telah mendahului kami dnegan beriman.” (Al-Hasyr: 10)
Juga termasuk mengetahui ayat yang berlaku umum atau ‘aam(عام)  dan yang khusus atau khas (خاص); yang mutlak (tanpa kecuali) dan yang muqayyad (yang terbatas); yang nasikh(hukum yang mengganti) dan yang mansyukh (hukum yang diganti); dan asbaabun nuzul (sebab turunnya) ayat untuk membantu dalam memahami ayat tersebut.
Ketiga, menguasai Hadits Rasulullah SAW baik dari segi riwayat hadits untuk dapat membedakan antara hadits yang shahih dan yang dlaif. Mengapa harus menguasai hadits? Karena yang berhak pertama kali untuk menjelaskan Al-Qur’an adalah Rasulullah SAW, maka apabila tidak menguasai hadits, dikhawatirkan menarik kesimpulan suatu hukum bertentangan dengan hadits yang shahih tentu ijtihad tersebut tidak dapat dibenarkan artinya bathil.
وَأَنْزَلْنَا اِلَيْكَ الذِكْرَ لِتُبَيِنَ لِلنَّاسِ مَانُزِلَ اِلَيِهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ
Kami turunkan kepada engkau peringatan (Al-Qur’an) supaya engkau terangkan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka mudah-mudahan mereka memikirkan.” (An-Nahl: 44)
وَمَاءَ اتَكُمُ الرَّسُوْلَ فَخُذُوْهُ وَمَانَهَكُمْ عَنْهُ فَانْتَهَوْا وَاتَّقُوْااللهَ اِنَّ الله شَدِيْدُ اْلعِقَابِ
Dan apa yang Rasul berikan kepadamu hendaklah kamu ambil, dan apa yang Rasul larang kepadamu hendaklah kamu hentikan, dan takutlah kepada Allah, sesungguhnya Allah keras siksa-Nya.” (Al-Hasyr: 7)
Keempat, mengetahui Ijma’ (kesepakatan hukum) Para Sahabat. Supaya kita dalam menentukan hukum tidak bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh sahabat, karena mereka yang lebih mengetahui tentang syareat Islam. Mereka hidup bersama Nabi dan mengetahui sebab-sebab turunnya Al-Qur’an dan datangnya hadits.
Kelima, Mengetahui adat kebiasaan manusia. Adat kebiasaan bisa dijadikan hukum ( العادة محكمه ) selama tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ijtihad pada zaman Nabi SAW tidak diperlukan, sebab apabila sahabat mempunyai persoalan langsung bertanya kepada Nabi dan Nabi langsung menjawab.
Ijtihad diperlukan setelah Nabi wafat karena permasalahan selalu berkembang. Sejak abad ke II dan ke III Hijriyah permasalahan hukum Islam telah mulai perumusan hukum, diantaranya hasil dari Al-Madzahibul–Arba’ah baik dalam ibadah maupun mu’amalah. Dan telah diletakkan pula qaidah-qaidah Ushul Fiqih yang mampu memecahkan segala permasalahan yang timbul. Barangkali, periode saat ini adalah periode pengamalan dalam agama, bukan periode ijtihad. Walaupun, jika berijtihad itu hanya akan menghasilkan barang yang sudah berhasil. Contohnya, dalam berwudlu’, bila ada ijtihad, maka tidak akan keluar dari pendapat madzab empat atau al-madzhibul arba’ah (yang akan dijelaskan pada pembahasan berikutnya, red).
Hal ini bukan berarti ijtihad ditutup mutlak. Tentu tidak. Dalam masalah-masalah yang berkembang baru di abad teknologi ini seperti: cangkok mata, bayi tabung, dan lain-lain, ijtihad tetap dibuka dengan berpedoman pada qaidah-qaidah ulama’ yang terdahulu dalam ilmu Ushul Fiqih.
Ijtihad Elite NU-Muhammadiyah Mentok
Saturday, 11 July 2009 10:35
Jakarta (Ansor Online): Kekalahan pasangan Jusuf Kalla (JK)-Wiranto dalam pilpres tak hanya memantik kekecewaan tim sukses dan simpatisannya. Dua ormas Islam terbesar Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah tak urung juga mendapat getahnya. Pucuk pimpinan NU dan Muhammadiyah terancam akan dimintai pertanggungjawaban oleh para pengurus di wilayah.
“Ini pasti menjadi bahan pemikiran bagi wilayah-wilayah. Apalagi, (kedua organisasi) sudah mendekati munas atau muktamar,” kata pengamat politik LIPI Syamsuddin Haris kepada Indo Pos (Jawa Pos Group) kemarin.
Pada pilpres, NU dan Muhammadiyah menyokong JK-Wiranto sebagai capres-cawapres 2009-2014. Kedekatan historis dan ideologis dijadikan alasan kuat untuk mendukung pasangan nomor urut tiga itu. JK selama ini adalah warga dan bahkan salah seorang fungsionaris NU di Sulawesi Selatan (Sulsel). Dia juga dikenal dekat dengan kalangan Muhammadiyah.
Syamsudin mengatakan, secara struktur, besar kemungkinan imbas pilihan politik pada pilpres lalu bakal berdampak kepada NU-Muhammadiyah. Karena itu, jika ditanya akan seperti apa masa depan kedua ormas tersebut, imbuh Haris, jawabannya ada di ketua umum masing-masing.
“Soal bagaimana struktur ke depan bergantung kepada ketua umumnya. Pak Din (Din Syamsuddin, ketua umum PP Muhammadiyah) itu kan partisan, Pak Hasyim (Hasyim Muzadi, ketua umum PB NU) juga kelihatan,” ujarnya.
Dia berharap, momentum pilpres 8 Juli lalu, yaitu ketika elite-elite NU- Muhammadiyah seolah mentok dan ijthad politiknya sedikit sekali diikuti anggota di akar rumput, dapat menjadi bahan evaluasi untuk menentukan pemimpin-pemimpin mereka di kemudian hari. Dia setuju jika ke depan ormas dan pimpinan ormas tidak lagi bersentuhan dengan politik praktis.

No comments:

Post a Comment