Seach What Do you Want

Monday 18 October 2010

Nasikh Dan Mansukh

Allah telah menciptakan suatu agama bagi manusia, yakni agama tauhid, di dalamnya terdapat aturan bagi manusia sesuai dengan tingkat perkembangan kebudayaannya. Oleh karena itu ada beberapa aturan bagi manusia dan pernah berlaku efektif lantas diralat, diganti dan diubah. Misalnya kebolehan menikah dengan saudara kandung bagi keluarga Nabi Adam AS lalu dihapus oleh Allah. Haramnya bekerja pada hari Sabtu di zaman Nabi musa AS juga dicabut oleh Allah melalui kitab injil. Dan banyak lagi syariat yang berlaku bagi umat nabi terdahulu yang kemudian dicabut, diganti atau disempurnakan oleh Al-Qur'an. Penyempurnaan ajaran Islam dibawa oleh Nabi Muhammad terhadap agama-gama yang dibawa oleh para ahli ushul dengan istilah Nasikh, yang berarti menghilangkan atau mengganti.
Mengenai ada/tidaknya ayat-ayat Al-Qur'an yang di nasakh, atau yang kandungan hukumnya dihapus dan diganti dengan hukum yang terkandung dalam ayat lain. Masih diperselisihkan oleh para ulama. Jumhur ulama (sebagian besar ulama) sebagaimana dikatakan oleh Ibnu al-Jauzi mendukung adanya nasakh terhadap ayat-ayat Al-Qur'an. Namun sebagian kecil ulama yang dipelopori oleh mufassir besar Al-Fahani menyatakan penolakan terhadap adanya nasakh dalam Al-qur'an dengan berdasarkan/bersandarkan Q.S. Fushilat (41) : 42:

Berdasarkan ayat tersebut ia menyatakan bahwa hukumj-hukum yang dikandung Al-Qur'an tak akan pernah bathal. Dan lebih tegas lagi ia mengatakan bahwa takhsis tidak pernah terjadi dalam Al-Qur'an. Prokontra inilah yang akan diulas dalam makalah ini.
Untuk menentukan ayat-ayat yang menghapuskan dan dihapuskan, dalam rangka untuk memahami, menafsirkan maksud ayat, diperlukan pemahaman terhadap ilmu yang membahasnya yaitu ilmu nasikh dan mansukh.
Mengetahui ilmu nasikh dan mansukh adalah sangat penting bagi setiap muslim khususnya para ahli fiqih, mufassirin, dan alim ulama dalam memahami hukum-hukum Islam. Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib karramallah wajhah bertanya kepada seorang Qadli: "Apakah kau mengerti nasikh dan mansukh?, Qadli menjawab : "Tidak" Ali berkata: "Kau telah sesat dan menyesatkan", dan juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. membaca Q.S. Al-Baqarah: 269 Ali r.a. menjelaskan lebih lanjut: "Nasikh dan mansukhnya, muhkam dan mutasyabihnya, muqaddam dan muakharnya serta halal dan haramnya.


Definisi Nasikh dan Mansukh
Nasikh Mansukh salah satu obyek kajian yang sangat penting dalam ilmu-ilmu Al Quran, tidak boleh diabaikan bagi orang yang menekuni spesialisasi dalam bidang tafsir Al Quran. Begitu pula bagi pemerhati kajian-kanjian yurisprudensi islam, merupakan salah satu faktor yang sangat signifikan dalam memicu perbedaan ulama tafsir dalam menginterpretasi ayat-ayat Al Quran.


Di kalangan mayoritas ulama-ulama islam di berbagai bidang, sudah menjadi sebuah opini umum yang mapan dan paten bahwa tidak ada kemustahilan atas konsekuensi adanya NASIKH MANSUKH, justru jika dicermati realitas kehidupan manusia yang selalu berubah-ubah disebabkan perbedaan kondisi dan situasi. Sedangkan islam dalam sisi idealitasnya -mewujudkan maslahat manusia- adalah sebagai sasaran pokok dalam perundang-undangannya menghendaki adanya Nasikh.

Nasikh adalah perbuatan Allah SWT Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui, Dia memerintahkan dan melarang hamba-Nya apa yang dikehendaki-Nya, tidak berarti ia sewenang-wenang dan menganiyaya, tapi semua hukum dan perbuatannya penuh dengan Hikmah dan Pengetahuan. terkadang dapat dideteksi oleh rasio dan kadang pula tersembunyi di balik tirai alam ghaib, untuk menguji loyalitas hamba-Nya.

Selama mengaktualisasikan maslahat manusia di muka bumi ini, sebagai inti dasar dan proses pijakan rel perundang-undangan dalam islam, yang pada tabiatnya sebagaian maslahat itu sendiri nisbi atau berubah-ubah, maka pemberhentian masa berlaku sebagian hukum dalam islam sangat relevan dengan keuniversalanya sebagai agama Shalihun Li Kulli Zaman Wal Makaan. Adanya pemberhentian masa berlaku sebagian hukum, karena perubahan dan perkembangan zaman, merupakan satu indikasi yang sangat kuat terhadap ruh dan semangat berkembang dan pembaharuan yang ada dalam perundang-undangan islam dari satu segi, pada segi lain merupakan stimulasi (perangsang) bagi para da’i dan ulama agar mereka menjauhi kejumudan, stagnasi dan kekerasan yang bisa menghambat kemajuan umat islam dalam dunia peradaban dan pembaharuan.

Teks (lafadz-lafadz Al Quran) yang masih tertulis dan tetap tebaca sampai sekarang dalam mushaf, sementara kandungan hukumnya sudah tidak berlaku (mansukh) merupakan sebuah ajaran dan inspirasi dari Al Quran bagi para ulama untuk memakai metode pemberlakuan secara bertahap dan berangsur, ketika menawarkan solusi dan hukum islam, khususnya ketika mengaplikasikan dalam dunia nyata, agar kecantikan dan kelembutan islam tidak ternodai, sebagai salah satu ciri khas terpenting dalam perundang-undangan islam, “Pelan-pelan tetapi terplanning lebih baik dari pada cepat namun kacau”.

di sisi kehistorisan, nasikh mansukh dapat menyingkap tabir, proses perjalanan perundang-undangan islam dan menggali pesan serta hikmah yang tersembunyi dibalik tarbiyah Allah SWT kepada hamba-Nya sekaligus sebagai Hujjah yang kokoh atas keontetikan Al Quran sebagai kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT, bukan bersumber dari diri Muhammad saw yang tidak tahu baca tulis (Ummy), pada sisi lain, mengingatkan orang mu’min terhadap nikmat dan rahmat Allah swt atas keintegralan agama islam.

Barangkali salah satu makna yang signifikan yang perlu direnungi dari eksisnya beberapa ayat yang masih tetap dibaca sekarang oleh umat muslim, tetapi hukumnya telah dimansukhkan adalah boleh jadi ayat ini diterapkan kembali pada kondisi tertentu, jika sejalan dengan dakwah dan perundang-undangan islam sebagai agama yang selalu memberi perhatian atas realitas dan idealitasnya.

Mengapa dingkari adanya Nasikh

Allah swt berfirman dalam Al Quran:”Ayat mana saja yang kami nasakhkan atau kami jadikan manusia lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah maha kuasa atas segala sesuatu”[al-Baqarah;106]. “Dan apabila kami letakkan seatu ayat di tempat yang lain sebagai penggantinya, padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata:sesungguhnya kami orang yang mengada-ada”, bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui”[an-Nahl:10]. Kedua ayat ini turun dengan satu Illat. Mufassirin menyebutkan bahwa sesungguhnya kaum musyrik, mereka mengatakan apakah kamu sekalian melihat Muhammad, ia memerintahkan kepada sahabtnya satu perintah kemudian melarangnya kemudian memerintahkan mereka lagi berbeda dari perintah yang lalu, maka turunlah ayat pertama,[an-Nisabury, Asbabu Nuzul]. Diriwayatkan juga dari Ibn Abbas ra: …kaum Qurays berkata:Tiadalah Muhammad melainkan menyihir sahabat-sahabatnya. Ia memerintahakan hari ini satu perintah, besok melarangnya lagi. Tiadalah Muhammad melainkan orang yang mengada-ada, maka turunlah ayat kedua,[tafsir Ruhul ma’ani jld I:350].

kalau dengan alasan bahwa Nasikh itu mengindikasikan adanya aib dan kebatilan dalam Al Quran, sehingga diingkari eksistensinya, itu berarti adanya sebuah krisis dalam menginterpretasikan Al Quran baik makna dan lafadznya. Setelah dicermati secara ilmiah, ternyata tidak ada yang mengindikasikan -baik implisit maupun eksplisit- adanya aib atau kebatilan atas konsekuensi nasikh mansukh. kalaupun perbedaan itu hanya sebatas perbedaan lafadz, bukan esensi (jauhar), mengapa harus menolak diktum Al Quran setelah Al Quran mengekspresikan hal ini secara nyata, masih adakah seleksi setelah seleksi Allah swt? masih adakah prioritas setelah Al Quran?. Allah berfirman:”Dan tidaklah patut bagi laki-laki mu’min dan tidak pula bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Maka barangsiapa yang mendurhakakan Allah dan rasul-Nya sungguhlah ia telah sesat yang nyata”[al-Ahzab:36].

Bagi penganut aib dan kebatilan akan diperhadapkan pada problema yang sangat komplit, ketika ia berinteraksi dengan beberapa ayat yang justru karena kekukuhannya dalam mengingkari adanya nasikh, menjebaknya masuk ke dalam kebatilan yang lebih hebat.

Berbeda dengan Abu Muslim al-Asfahani, yang mengingkari nasikh secara dalil naqli. Abu Mutaa’ al-jabiri, keingkarannya bukan saja naqli, secara aqli pun ia mengingkarinya (lih. la Naskha fil Quran, oleh Abdul Muta’al al-Jabiri :15). namun secara umum, bantahan Al-jabiri terhadap jumhur, nampak ekspresi kefanatikannya lebih aktif, ketimbang unsur mutu argumen yang dikembangkannya, sehingga mengurangi nilai keilmiahannya, mana lagi kedhaifan dalilnya. Seperti ia menyebutkan jumlah ayat yang di nasikh dengan berlebih-lebihan untuk mendistorsi opini umum di kalangan jumhur, dan nampak juga kekurangan metodologisnya ketika ia menuduh kedhaifan dalil jumhur, sementara ia mendatangkan dalil yang lebih dhaif lagi. terkadang juga terlalu memaksa teks Al Quran menerima makna yang tidam punya indikasi, salah satu contohnya, ia menginterpretasikan ayat kedua tersbut di atas “Wa idzaa baddalna..”, “kami tidak mengganti sesuatu pun dalam Al Quran karena kalau kami menggantinya maka orang-orang kafir menjadikan alasan bahwa engkau (Muhammad) mengada-ada, maka kami tidak menggantinya saddan liszari-ah”. Bahkan terjadi kontradiksi antara dirinya sendiri ketika ia mengatakan dalam bukunya:”nasikh fii Syariatil islam kamaa af-hammuuhu”, bahwa mengingkari nasikh bukan berarti mengingkari tabdil ahkam. Padahal lafadz tabdil itu sendiri berarti nasikh. jadi tulisan al-jabiri penuh dengan penukar-balikan ditambah dengan argumen-argumen yang tak menarik dan tidak memuaskan, yang tidak bisa dijadikan sandaran untuk menandingi pendapat jumhur.[an-Nasikh bainal itsbat wa nafyi, Dr.Muhammad mahmud fargali I:121-123].

Nasikh bukan berarti menimbulkan kontradiksi yang ada dalam Al Quran, bahkan semua pemberitaan Al Quran sesuai dengan realita hukum-hukumnya, serasi dengan hikmah yang tidak bisa kurang atau lebih, sebagaimana firman Allah:”Dan kami turunkan Al Quran dengan sebenar-benarnya dan ia telah turun dengan membawa kebenaran” [al-Israa:105].

Dengan Interpretasi seperti ini -ketika mengklarifikasikan ayat batil dan ayat ikhtilaf- lebih dapat diterima adanya nasikh ketimbang mengingkarinya. karena kondisi dan situasi orang-orang yang didakwai pada permulaan islam bukan lagi pada akhir-akhir hayat Rasulullah saw. Andaikan hukum itu (yang pertama) terus berlangsung hingga akhir, tidak ada yng dimansukh, tentu akan mengidentifikasikan adanya suatu yang bertolak belakang dengan hikmah, dengan demikian menisbahkan sesuatu yang batil pada Al Quran.
Soal Nasikh dan Mansukh

“Seandainya (Al-Quran ini) datangnya bukan dari Allah, niscaya mereka akan menemukan di dalam (kandungan)-nya ikhtilaf (kontradiksi) yang banyak (QS 4:82)”.

Ayat Al-Quran tersebut di atas merupakan prinsip yang di yakini kebenarannya oleh setiap Muslim. Namun demikian, para ulama berbeda pendapat tentang bagaimana menghadapi ayat-ayat yang sepintas lalu menunjukkan adanya gejala kontradiksi. Dari sinilah kemudian timbul pembahasan tentang nasikh dan mansukh.
Di dalam Al-Quran, kata naskh dalam berbagai bentuknya, ditemukan sebanyak empat kali, yaitu dalam QS 2:106, 7:154, 22:52, dan 45:29. Dari segi etimologi, kata tersebut dipakai dalam beberapa arti, antara lain pembatalan, penghapusan, pemindahan dari satu wadah ke wadah lain, pengubahan, dan sebagainya. Sesuatu yang membatalkan, menghapus, memindahkan, dan sebagainya, dinamai nasikh. Sedangkan yang dibatalkan, dihapus, dipindahkan, dan sebagainya, dinamai mansukh.
Sebelum menguraikan arti nasikh dan mansukh dari segi terminologi, perlu digarisbawahi bahwa para ulama sepakat tentang tidak ditemukannya ikhtilaf dalam arti kontradiksi dalam kandungan ayat-ayat Al-Quran. Dalam menghadapi ayat-ayat yang sepintas lalu dinilai –memiliki gejala kontradiksi, mereka mengkompromikannya. Pengkompromian tersebut ditempuh oleh satu pihak tanpa menyatakan adanya ayat yang telah dibatalkan, dihapus, atau tak berlaku lagi, den ada pula dengan menyatakan bahwa ayat yang turun kemudian telah membatalkan kandungan ayat sebelumnya, akibat perubahan kondisi sosial.151
Apa pun cara rekonsiliasi tersebut, pada akhirnya mereka sependapat bahwa tidak ada kontradiksi dalam ayat-ayat Al-Quran. Karena disepakati bahwa syarat kontradiksi, antara lain, adalah persamaan subjek, objek, waktu, syarat, dan lain-lain.
Arti Naskh
Terdapat perbedaan pengertian tentang terminologi naskh. Para ulama mutaqaddimin (abad I hingga abad III H) memperluas arti naskh sehingga mencakup: (a) pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian; (b) pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian; (c) penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar; (d) penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.152
Bahkan ada di antara mereka yang beranggapan bahwa suatu ketetapan hukum yang ditetapkan oleh satu kondisi tertentu telah menjadi mansukh apabila ada ketentuan lain yang berbeda akibat adanya kondisi lain, seperti misalnya perintah untuk bersabar atau menahan diri pada periode Makkah di saat kaum Muslim lemah, dianggap telah di-naskh oleh perintah atau izin berperang pada periode Madinah, sebagaimana ada yang beranggapan bahwa ketetapan hukum Islam yang membatalkan hukum yang berlaku pada masa pra-Islam merupakan bagian dari pengertian naskh.153
Pengertian yang demikian luas dipersempit oleh para ulama yang datang kemudian (muta’akhirin). Menurut mereka naskh terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir.
Para ulama tidak berselisih pendapat tentang adanya ayat-ayat Al-Quran mencakup butir-butir b, c, dan d, yang dikemukakan oleh para ulama mutaqaddimin tersebut. Namun istilah yang diberikan untuk hal-hal tersebut bukannya naskh tetapi takhshish (pengkhususan).
Yang kemudian menjadi bahan perselisihan adalah butir a, dalam arti adakah ayat yang dibatalkan hukumnya atau tidak? Para ulama yang menyatakan adanya naskh dalam pengertian tersebut mengemukakan alasan-alasan berdasarkan ‘aql dan naql (Al-Quran).
Ibn Katsir, dalam rangka membuktikan kekeliruan orang-orang Yahudi yang mempertahankan ajaran agama mereka dan menolak ajaran Islam dengan dalih tidak mungkin Tuhan membatalkan ketetapan-ketetapannya yang termaktub dalam Taurat, menyatakan: “Tidak ada alasan yang menunjukkan kemustahilan adanya naskh atau pembatalan dalam hukum-hukum Allah, karena Dia (Tuhan) menetapkan hukum sesuai kehendak-Nya dan melakukan apa saja yang diinginkanNya.”154
Al-Maraghi menjelaskan hikmah adanya naskh dengan menyatakan bahwa: “Hukum-hukum tidak diundangkan kecuali untuk kemaslahatan manusia dan hal ini berubah atau berbeda akibat perbedaan waktu dan tempat, sehingga apabila ada satu hukum yang diundangkan pada suatu waktu karena adanya kebutuhan yang mendesak (ketika itu) kemudian kebutuhan tersebut berakhir, maka merupakan suatu tindakan bijaksana apabila ia di-naskh (dibatalkan) dan diganti dengan hukum yang sesuai dengan waktu, sehingga dengan demikian ia menjadi lebih baik dari hukum semula atau sama dari segi manfaatnya untuk hamba-hamba Allah.”155
Lebih jauh dikatakannya bahwa hal ini sama dengan obat-obat yang diberikan kepada pasien. Para nabi dalam hal ini berfungsi sebagai dokter, dan hukum-hukum yang diubahnya sama dengan obat-obat yang diberikan oleh dokter.156
Ada dua butir yang harus digarisbawahi dari pernyataan AlMaraghi di atas. Pertama, mempersamakan nabi sebagai dokter dan hukum-hukum sebagai obat memberikan kesan bahwa nabi dapat mengubah atau mengganti hukum-hukum tersebut, sebagaimana dokter mengganti obat-obatnya. Kedua, mempersamakan hukum yang ditetapkan dengan obat tentunya tidak mengharuskan dibuangnya obat-obat tersebut, walaupun telah tidak sesuai dengan pasien tertentu, karena mungkin masih ada pasien lain yang membutuhkannya.
Pada hakikatnya tidak ada perselisihan pendapat di kalangan para ulama tentang dapatnya diadakan perubahan-perubahan hukum, antara lain atas dasar pertimbangan yang dikemukakan oleh Al-Maraghi di atas. Tetapi yang mereka maksudkan dan yang disepakati itu adalah perubahan-perubahan hukum yang dihasilkan oleh ijtihad mereka sendiri atau perubahan-perubahan yang dilakukan oleh Tuhan bagi mereka yang berpendapat adanya naskh dalam Al-Quran.
Pendukung-pendukung naskh juga mengemukakan ayat Al-Baqarah 106, yang terjemahan harfiahnya adalah;
Kami tidak me-naskh-kan satu ayat atau Kami menjadikan manusia lupa kepadanya kecuali Kami mendatangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding. Apakah Kamu tidak mengetahui sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.
Menurut mereka, “ayat” yang di naskh itu adalah ayat Al-Quran yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum. Penafsiran ini berbeda dengan penafsiran mereka yang menolak adanya naskh dalam pengertian terminologi tersebut dengan menyatakan bahwa “ayat” yang dimaksud adalah mukjizat para nabi.157 Mereka juga mengemukakan ayat 101 Surat Al-Nahl:
Apabila Kami mengganti satu ayat di tempat ayat yang lain dan Tuhan mengetahui apa yang diturunkannya, maka mereka berkata sesungguhnya engkau hanyalah pembohong.
Disisi lain, mereka yang menolak adanya naskh dalam Al-Quran, beranggapan bahwa pembatalan hukum dari Allah mengakibatkan satu dari dua kemustahilan-Nya, yaitu (a) ketidaktahuan, sehingga Dia perlu mengganti atau membatalkan satu hukum dengan hukum yang lain; dan (b) kesia-siaan dan permainan belaka.
Argumentasi ini jelas tertolak dengan memperhatikan argumentasi logis pendukung naskh.
Alasan lain yang dapat dianggap terkuat adalah firman Allah QS 41:42, Tidak datang kepadanya (Al-Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya.
Ayat tersebut di atas menurut Abu Muslim Al-Isfahani menegaskan bahwa Al-Quran tidak disentuh oleh “pembatalan”, dan dengan demikian bila naskh diartikan sebagai pembatalan, maka jelas ia tidak terdapat dalam Al-Quran.
Pendapat Abu Muslim di atas ditangkis oleh para pendukung naskh dengan menyatakan bahwa ayat tersebut tidak berbicara tentang pembatalan tetapi “kebatilan” yang berarti lawan dari kebenaran. Hukum Tuhan yang dibatalkannya bukan berarti batil, karena sesuatu yang dibatalkan penggunaannya karena adanya perkembangan dan kemaslahatan pada suatu waktu bukan berarti bahwa yang dibatalkan itu ketika berlakunya merupakan sesuatu yang tidak benar, dan dengan demikian yang dibatalkan dan membatalkan keduanya adalah hak dan benar, bukan batil.158
Agaknya kita dapat berkesimpulan bahwa argumentasi yang dikemukakan oleh penolak adanya naskh dalam Al-Quran telah dibuktikan kelemahan-kelemahannya oleh para pendukung naskh. Namun demikian masalah kontradiksi belum juga terselesaikan.
Para pendukung naskh mengakui bahwa naskh baru dilakukan apabila, (a) terdapat dua ayat hukum yang saling bertolak belakang dan tidak dapat dikompromikan, dan (b) harus diketahui secara meyakinkan perurutan turunnya ayat-ayat tersebut, sehingga yang lebih dahulu ditetapkan sebagai mansukh, dan yang kemudian sebagai nasikh.159
Di sini para penolak adanya naskh dalam Al-Quran dari saat ke saat membuktikan kemampuan mereka mengkompromikan ayat-ayat Al-Quran yang tadinya dinilai kontradiktif. Sebagian dari usaha mereka itu telah diterima secara baik oleh para pendukung naskh sendiri, sehingga jumlah ayat-ayat yang masih dinilai kontradiktif oleh para pendukung naskh dari hari ke hari semakin berkurang.
Dalam hal ini agaknya dibutuhkan usaha rekonsiliasi antara kedua kelompok ulama tersebut, misalnya dengan jalan meninjau kembali pengertian istilah naskh yang dikemukakan oleh para ulama muta’akhir, sebagaimana usaha mereka meninjau istilah yang dikemukakan oleh para ulama mutaqaddim.
Untuk maksud tersebut, kita cenderung menjadikan pemikiran Muhammad ‘Abduh dalam penafsirannya tentang ayat-ayat Al-Quran sebagai titik tolak.
Muhammad ‘Abduh –walaupun tidak mendukung pengertian kata “ayat” dalam Al-Baqarah ayat 106 sebagai “ayat-ayat hukum dalam Al-Quran”, dengan alasan bahwa penutup ayat tersebut menyatakan “Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu” yang menurutnya mengisyaratkan bahwa “ayat” yang dimaksud adalah mukjizat– tetap berpendapat bahwa dicantumkannya kata-kata “Ilmu Tuhan”, “diturunkan”, “tuduhan kebohongan”, adalah isyarat yang menunjukkan bahwa kata “ayat” dalam surat Al-Nahl ayat 101 adalah ayat-ayat hukum dalam Al-Quran.160
Apa yang dikemukakan oleh ‘Abduh di atas lebih dikuatkan lagi dengan adanya kata “Ruh Al-Quds” yakni Jibril yang mengantarkan turunnya Al-Quran. Bahkan lebih dikuatkan lagi dengan memperhatikan konteks ayat tersebut, baik ayat-ayat sebelum maupun sesudahnya. Ayat 98 sampai 100 berbicara tentang cara mengucapkan ta’awwudz (a’udzu billah) apabila membaca Al-Quran serta sebab perintah tersebut. Ayat 101 berbicara tentang “pergantian ayat-ayat (yang tentunya harus dipahami sebagai ayat-ayat Al-Quran)”. Kemudian ayat 102 dan 103 berbicara tentang siapa yang membawanya “turun” serta tuduhan kaum musyrik terhadapnya (Al-Quran).
Kembali kepada ‘Abduh, di sana terlihat bahwa dia menolak adanya naskh dalam arti pembatalan, tetapi menyetujui adanya tabdil (pergantian, pengalihan, pemindahan ayat hukum di tempat ayat hukum yang lain).
Dengan demikian kita cenderung memahami pengertian naskh dengan “pergantian atau pemindahan dari satu wadah ke wadah yang lain” (lihat pengertian etimologis kata naskh). Dalam arti bahwa kesemua ayat Al-Quran tetap berlaku, tidak ada kontradiksi. Yang ada hanya pergantian hukum bagi masyarakat atau orang tertentu, karena kondisi yang berbeda. Dengan demikian ayat hukum yang tidak berlaku lagi baginya, tetap dapat berlaku bagi orang-orang lain yang kondisinya sama dengan kondisi mereka semula.
Pemahaman semacam ini akan sangat membantu dakwah Islamiyah, sehingga ayat-ayat hukum yang bertahap tetap dapat dijalankan oleh mereka yang kondisinya sama atau mirip dengan kondisi umat Islam pada awal masa Islam.
Siapa yang Berwenang Melakukan Naskh?
Pertanyaan di atas tentunya hanya ditujukan kepada mereka yang mengakui adanya naskh dalam Al-Quran, baik dalam pengertian yang dikemukakan oleh para ulama muta’akhir maupun dalam pengertian yang kita kemukakan di atas.
Pengarang buku Manahil Al-’Irfan mengemukakan bahwa Para ulama berselisih paham tentang boleh-tidaknya Nabi saw. me-naskh ayat-ayat Al-Quran. Selanjutnya mereka yang membolehkannya secara teoretis berbeda paham pula tentang apakah dalam kenyataan faktual ada hadis Nabi yang me-naskh ayat atau tidak?161
Menurutnya, Al-Syafi’i, Ahmad (dalam satu riwayat yang dinisbahkan kepadanya), dan Ahl Al-Zhahir, menolak –walaupun secara teoretis– dapatnya Sunnah me-naskh Al-Quran. Sebaliknya Imam Malik, para pengikut mazhab Abu Hanifah, dan mayoritas para teolog baik dari Asy’ariah maupun Mu’tazilah, memandang bahwa tidak ada halangan logis bagi kemungkinan adanya naskh tersebut. Hanya saja mereka kemudian berbeda pendapat tentang ada tidaknya Sunnah Nabi yang me-naskh Al-Quran.
Walaupun terjadi perbedaan pendapat di atas, namun secara umum dapat dikatakan bahwa mereka semua bersepakat menyatakan bahwa yang dapat me-naskh Al-Quran hanyalah wahyu-wahyu Ilahi yang bersifat mutawatir (diyakini kebenaran nisbahnya kepada Nabi saw.). Walaupun demikian, mereka berselisih tentang cakupan kata “wahyu Ilahi” tersebut, apakah Sunnah termasuk wahyu atau bukan.
Syarat bahwa wahyu tersebut harus bersifat mutawatir, disebabkan karena sebagaimana dikatakan oleh Al-Syathibi: “Hukum-hukum apabila telah terbukti secara pasti ketetapannya terhadap mukallaf, maka tidak mungkin me-naskh-nya kecuali atas pembuktian yang pasti pula.”162 Sebab adalah sangat riskan untuk membatalkan sesuatu yang pasti berdasarkan hal yang belum pasti.
Atas dasar hal tersebut di atas, kita dapat berkata bahwa persoalan kini telah beralih dari pembahasan teoretis kepada pembahasan praktis. Pertanyaan yang muncul di sini adalah “apakah ada Sunnah Nabi yang mutawatir yang telah membatalkan ayat-ayat Al-Quran?”
Dalam hal ini pengarang Manahil Al-Irfan mengemukakan empat hadis yang kesemuanya bersifat ahad (tidak mutawatir), namun dinilai oleh sebagian ulama telah me-naskh ayat-ayat Al-Quran. Apakah ini berarti bahwa tidak ada hadis mutawatir yang me-naskh Al-Quran? Agaknya memang demikian. Di sisi lain, keempat hadis tersebut, setelah diteliti keseluruhan teksnya, menunjukkan bahwa yang me-naskh ayat –kalau hal tersebut dinamai naskh– bukannya hadis tadi, melainkan ayat yang ditunjuk oleh hadis tersebut.
Hadis “La washiyyata li warits” (tidak dibenarkan adanya wasiat untuk penerima warisan), yang oleh sementara ulama dinyatakan sebagai me-naskh ayat “kewajiban berwasiat” (QS 2:180), ternyata setelah diteliti keseluruhan teksnya berbunyi:Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap yang berhak haknya, dengan demikian tidak ada (tidak dibenarkan) wasiat kepada penerima warisan.
Kata-kata “sesungguhnya Allah telah memberikan” dan seterusnya menunjuk kepada ayat waris. Dan atas dasar itu, hadis tersebut menyatakan bahwa yang me-naskh adalah ayat-ayat waris tersebut, bukan hadis Nabi saw. yang bersifat ahad tersebut.
Adapun jika yang dimaksud dengan naskh adalah “pergantian” seperti yang dikemukakan di atas, maka agaknya di sini terdapat keterlibatan para ahli untuk menentukan pilihannya dari sekian banyak alternatif ayat hukum yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Quran menyangkut kasus yang dihadapi. Satu pilihan yang didasarkan atas kondisi sosial atau kenyataan objektif dari masing-masing orang. Ada tiga ayat hukum yang berbeda menyangkut khamr (minuman keras). Ketiganya tidak batal, melainkan berubah sesuai dengan perubahan kondisi. Para ahli dapat memilih salah satu di antaranya, sesuai dengan kondisi yang dihadapinya.
Hal ini agaknya dapat dikuatkan dengan memperhatikan bentuk plural pada ayat Al-Nahl tersebut, “apabila Kami mengganti suatu ayat …”, kata “kami” di sini menurut hemat penulis, sebagaimana halnya secara umum kata “Kami” yang menjadi pengganti nama Tuhan dalam ayat-ayat lain, menunjukkan adanya keterlibatan selain Tuhan (manusia) dalam perbuatan yang digambarkan oleh kata kerja pada masing-masing ayat. Ini berarti ada keterlibatan manusia (yakni para ahli) untuk menetapkan alternatifnya dari sekian banyak alternatif yang ditawarkan oleh ayat-ayat Al-Quran yang mansukh atau diganti itu.

Bagaimana Cara Mengetahui Nasikh dan Mansukh ?
Nasikh dan mansukh dapat diketahui dengan salah satu dari beberapa hal berikut :
1. Pernyataan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, seperti sabda beliau :
”Aku dahulu pernah melarang kalian untuk berziarah kubur. Maka (sekarang) berziarahlah kalian, karena hal itu dapat mengingatkan akhirat” (HR. Muslim).
2. Perkataan shahabat.
3. Mengetahui sejarah, seperti hadits Syaddad bin ‘Aus :
”Orang yang membekam dan yang dibekam batal puasanya” (HR. Abu Dawud); dinasakh oleh hadits Ibnu ‘Abbas :
”Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berbekam sedangkan beliau sedang ihram dan berpuasa” (HR.Muslim).
Dalam salah satu jalur sanad Syaddad dijelaskan bahwa hadits itu diucapkan pada tahun 8 hijriyah ketika terjadi Fathu Makkah; sedangkan Ibnu ‘Abbas menemani Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan ihram pada saat haji wadai tahun 10 hijriyah.
4. Ijma’ ulama’; seperti hadits yang berbunyi :
Barangsiapa yang meminum khamr maka cambuklah dia, dan jika dia kembali mengulangi yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi). Imam Nawawi berkata,”Ijma’ ulama menunjukkan adanyanaskh terhadap hadits ini”. Dan ijma’ tidak bisa dinasakh dan tidak bisa menasakh, akan tetapi menunjukkan adanya nasikh.

Pentingnya Ilmu Nasikh dan Mansukh Hadits
Mengetahui nasikh dan mansukh merupakan suatu keharusan bagi siapa saja yang ingin mengkaji hukum-hukum syari’ah, karena tidak mungkin dapat menyimpulkan suatu hukum tanpa mengetahui dalil-dalil nasikh dan mansukh. Oleh sebab itu, para ulama sangat memperhatikan ilmu tersebut dan menganggapnya sebagai satu ilmu yang sangat penting dalam bidang ilmu hadits.
Mereka mendefinisikannya sebagai berikut : “Ilmu nasikh dan mansukh adalah ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang bertentangan yang tidak mungkin dikompromikan, dimana salah satu hadits dihukumi sebagai nasikh dan yang lain sebagai mansukh. Hadits yang lebih dahulu disebut mansukh, dan hadits yang datang kemudian menjadi nasikh”.
Mengetahui nasikh dan mansukh juga akan membantu seseorang dalam memahami isi al Qur’an. Dalil adanya nasikh dan mansukh adalah firman Allah Ta’ala,

“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan ayat yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya” (QS. Al Baqarah : 106)

Nasikh adalah menghapus hukum dan mengantikannya dengan dalil syar’i yang datang kemudian. Hukum yang diangkat dinamakan mansukh. Penghapusan suatu hukum dengan hukum lain dinamakan naskh.

Diantara contoh naskh :

(1) Firman Allah Ta’ala,

“Dan terhadap wanita yang mengerjakan perbuatan keji (zina), hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu. Kemudian apabila mereka memberi persaksian, maka kurunglah mereka dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya

Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji diantara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka” (QS. An Nisaa’ : 15 – 16)

Kedua ayat di atas dinasakh oleh ayat yang menerangkan hukuman dera bagi seorang gadis yang berzina, yaitu :

“Perempuan yang berzina dan laki–laki yang berzina maka deralah masing–masing seratus kali dera” (QS. An Nur : 2)

(2) Firman Allah Ta’ala,

“Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh” (QS. Al Anfal : 65)

Ayat di atas dinasakh oleh firman Allah Ta’ala,

“Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantara kamu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang” (QS. Al Anfal : 66)
Pengertian nasikh dan mansukh menurut para ulama salaf pada umumnya adalah pembatalan hukum secara global, dan itu merupakan istilah para ulama muta 'akhirin (belakangan); atau pembatalan dalalah (aspek dalil) yang umum, mutlak dan nyata [Kami tidk menemukan rangkaian kalimat yang sederhana mengenai ini, Admin Rumah Islam]. Pembatalan ini dapat berupa pengkhususan atau pemberian syarat tertentu, atau mengartikan yang mutlak menjadi yang terikat dengan suatu syarat, menafsirkannya dan menjelaskannya.
Berdasarkan pengertian ini, mereka mengartikan pengecualian (istitsna), syarat dan sifat sebagai nasakh, karena hal itu mengandung pembatalan yang zhahir dan penjelasan terhadap apa yang dimaksudkannya. Dengan demikian, nasakh dalam pandangan mereka adalah penjelasan tentang maksud suatu dalil dengan tidak mempergunakan lafazh tersebut, akan tetapi dengan suatu perkara yang di luar itu. Orang yang mengamati pendapat mereka akan melihat hal itu sebagai sesuatu yang tidak terbatas, dan hilanglah macam-macam bentuk (rekaan) yang dituntut oleh karena diartikannya pendapat mereka pada istilah baru yang muncul kemudian.
Menurut Hisyam bin Hasan dari Muhammad bin Sirin bahwa Hudzaifah berkata, "Orang yang memberikan fatwa adalah salah satu dari 3 orang, yaitu:
1.      orang yang mengetahui nasikh dan mansukh Al Qur'an,
2.      penguasa yang tidak menemukan jalan lain, dan
3.      orang bodoh yang mengada-ada. " [kami berpendapat bahwa golongan inilah yang membuat hancur umat islam, Admin Rumah Islam]
Selanjutnya Ibnu Sirin berkata, "Aku bukan salah seorang dari kedua yang pertama, dan aku tidak mengharapkan menjadi orang bodoh yang mengada-ada."
Abu Umar bin Abdul Barr mengatakan di dalam bukunya Jami ' Fadhl Al Ilm Khalaf bin Qasim menceritakan kepada kami, Yahya bin Rabi' menceritakan kepada kami, Muhammad bin Hamad Al Mushishi mengatakan kepada kami, Ibrahim bin Waqid mengatakan kepada kami, Al Muthalib bin Ziyad mengatakan kepada kami, ia berkata, "Ja' far bin Husain (imam kami) menceritakan kepadaku, ia berkata, `Aku melihat Abu Hanifah dalam mimpi, dan aku berkata, 'Aim yang Allah lakukan terhadapmu, wahai Abu Hanifah?' Ia menjawab, 'Dia mengampuniku.' Aku bertanya lagi, Dengan ilmu?' Ia menjawab, `Alangkah berbahayanya fatwa-fatwa itu bagi pemiliknya'. Aku bertanya, `Lalu dengan apa?' Ia menjawab, Dengan perkataan manusia tentang aku yang tidak diketahui Allah bahwa itu adalah dariku."
Abu Umar mengatakan: Abu Utsman Al Haddad berkata, "Seorang hakim lebih mudah berbuat dosa dan lebih dekat pada keselamatan daripada seorang ahli fikih (maksudnya mufti), karena ahli fikih mengeluarkan apa-apa yang dimaksudkannya pada suatu saat dengan keterbatasan perkataannya, sedangkan hakim harus menentukan suatu keputusan dengan ketetapan yang pasti."

Ulama lain berpendapat bahwa seorang mufti lebih dekat pada keselamatan daripada seorang hakim, karena seorang mufti tidak menetapkan fatwanya, tetapi ia menyampaikannya kepada orang yang memerlukannya. Jika ia mau, ia dapat mempergunakannya dan dapat pula meninggalkannya. Sedangkan hakim, ia menetapkan suatu keputusan sehingga keberadaan hakim sama dengan mufti dalam hal menyampaikan suatu hukum. Tetapi, hakim berbeda dengan mufti dalam hal ketetapan atas keputusannya. Dari pandangan ini, keputusan hakim lebih besar bahayanya.


Catatan kaki
151 Lihat antara lain Al-Fairuzzabadiy dalam Al-Qamus Al-Muhith, Al-Halabiy, Mesir, cet. II, 1952, Jilid I, h. 281. Lihat juga Al-Zarkasyi dalam Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Al-Halabiy, Mesir, 1957, cet. I, jilid III, h. 28.
152 Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Syari’at, Dar Al-Ma’arif, Beirut, 1975, jilid III, h. 108.
153 Abdul ‘Azim Al-Zarqani, Manahil A-’Irfan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Al-Halabiy, Mesir 1980, Jilid II, h. 254.
154 Ismail Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, Sulaiman Mar’iy, Singapura, t.t.h., jilid I, h. 151.
155 Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghiy, Al-Halabiy, Mesir, 1946, jilid I, h. 187.
156 Ibid.
157 Lihat antara lain Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Dar Al-Manar, Mesir, 1367 H, cet. III, jilid 1, h. 415-416.
158 Lihat ‘Abdul Azim Al-Zarqani, op cit., h. 208.
159 Ibid., h. 209.
160 Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, op cit., h. 237.
161 ‘Abdul Azim Al-Zarqani, op cit., h. 237.
162 Al-Syatibi, op cit., h. 105.

No comments:

Post a Comment